Etika Guru dan Siswa Dalam Prespektif Hadist Nabi SAW (Hadist Pendidikan)


MAKALAH
ETIKA GURU DAN SISWA DALAM PRESPEKTIF HADIST NABI SAW
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah “HADIST PENDIDIKAN”
Dosen Pengampu : Asrowi, M.A.


DISUSUN OLEH :
Ardiningrum Dwi Septyas Putri
17211129





PERGURUAN TINGGI LA TANSA MASHIRO
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM LA TANSA MASHIRO
Jalan Soekarno-Hatta Pasir Jati Telp. (0252) 207163/206794 Rangkasbitung 42317
E-mail : latansamashiro@gmail.com Website : siakadstai.latansamashiro.ac.id
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala Puji Syukur senantiasa tercurahkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan segala kesalahan dan kekurangannya, guna memenuhi tugas mata kuliah “HADIST PENDIDIKAN”. Sholawat serta salam tidak lupa saya haturkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, dan semoga kita semua termasuk umatnya yang kelak mendapatkan syafa’atnya kelak di hari qiamat. Aamiin…
Makalah ini telah saya susun semaksimal mungkin dan saya juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Meskipun saya sebagai penyusun berharap isi dari makalah ini bebas dari kesalahan dan kekurangan. Namun, tentunya kami menyadari bahwa saya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan dan kesempurnaan itu hanya milik Allah semata. Oleh karena itu, saya sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya laporan ini diwaktu mendatang. Semoga Allah SWT memberkahi makalah ini, sehingga dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Aamiin...


Bogor, 24 April 2020


Pemakalah


ABSTRAK
Etika merupakan batasan-batasan terhadap tingkah laku manusia. Segala bentuk perbuatannya berpegang teguh pada norma. Etika sangat penting bagi setiap orang, karena jika tanpa adanya etika maka seseorang akan berlaku sewenang-wenang tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan setelah peristiwa tersebut. Etika guru sangat berperan dalam pembentukan tingkah laku siswanya di sekolah dan di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui etika guru dalam prespektif hadist Nabi SAW. Untuk mengetahui etika siswa dalam prespektif hadist Nabi SAW. Untuk mengetahui pengaruh etika guru terhadap akhlak siswa.












BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Etika merupakan batasan-batasan terhadap tingkah laku manusia. Seseorang yang mengerti tentang etika akan memilih dan memilah perbuatan-perbuatan yang baik atau buruk sesuai dengan norma yang berlaku. Segala bentuk perbuatannya berpegang teguh pada norma. Etika menurut filsafat ialah ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.[1] Etika sangat penting bagi setiap orang, karena jika tanpa adanya etika maka seseorang akan berlaku sewenang-wenang tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan setelah peristiwa tersebut. Menurut para ahli, etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antar sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ethos yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik.[2]
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Banyak orang yang sukses berkat jasa seorang guru. Guru juga merupakan orangtua di sekolah. Etika guru sangat berperan dalam pembentukan tingkah laku siswanya di sekolah dan di lingkungannya. Oleh sebab itu bagaimana etika seorang guru di sekolah akan di contoh oleh peserta didiknya, karena guru merupakan suri tauladan yang baik. Menurut Faizal Djabidi, banyak guru mengajar terkadang tidak memahami tentang manajemen dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, dalam mindsetnya hanya berkutat pada cara yang tepat untuk menyampaikan materi sebagai tanggung jawab moral dalam mencerdaskan peserta didiknya.[3] Pada kenyataannya masih ada anggapan di masyarakat bahwa siapapun dapat mengajar tanpa merasa perlu untuk mendalami ilmu mengajar. Ada saja guru yang tidak mengerti tentang etika mengajar. Tidak jarang terjadi kekerasan terhadap siswa, jika guru merasa siswanya telah melakukan kesalahan. Seharusnya seorang guru itu memiliki sifat-sifat yang baik seperti sabar, lemah lembut, penyayang dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Thaha/20 ayat 44:
فَقُوْلَا لَهُ لَيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طهى : 44)                
Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha : 44)[4]
Seorang guru harus bertutur katalah dengan lemah lembut sesuai dengan firman Allah tersebut agar siswanya menjadi sadar dan takut tanpa adanya tindak kekerasan terhadap siswa yang melakukan kesalahan. Sehingga tingkah laku seorang guru haruslah mencerminkan tingkah laku yang baik-baik agar siswanya pun mencontoh hal tersebut. Karena adanya kode etik, maka seorang guru tidak bisa berbuat sewenang-wenang terhadap siswanya. Ada sanksi yang diberikan apabila seorang guru melanggar kode etik tersebut. Menjadi guru tidaklah mudah, karena seorang guru memiliki kode etik. Kode etik itulah yang menjadi landasan agar menjadi guru professional.
Menurut Ahmad Amin bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa suatu kehendak itu dilakukannya berulang-ulang tanpa adanya pemikiran.[5] Karena pada hakekatnya, akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menghasilkan perbuatan tanpa pemikiran (reflex). Oleh sebab itu segala perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh seseorang yang dalam hal ini adalah siswa, merupakan wujud dari akhlaknya. Karena sering dilakukan akan menjadi kebiasaan. Maka kebiasaan yang baik akan mengahasilkan akhlak yang baik. Sebaliknya, kebiasaan yang buruk akan menghasilkan akhlak yang buruk pula.
Peserta didik adalah anak, individu, yang tergolong dan tercatat sebagai siswa di dalam satuan pendidikan.[6] Dalam hal ini siswa di tingkat satuan pendidikan PAUD, TK, SD, SMP/MTS, maupun SMA/MA. Menurut Ahmad Yusam Thobroni yang dikutip dalam jurnalnya, pelajar adalah manusia yang mampu dididik dan membutuhkan pendidikan dalam rangka mengaktualkan potensi yang ada pada dirinya serta untuk mendapatkan ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagai label beribadah kepada Allah. Oleh karena itu ilmu merupakan sesuatu yang sangat berharga, maka seseorang yang menuntut ilmu sepantasnya membekali dirinya dengan dengan akhlak yang mulia sebagai upaya persiapan diri demi keberhasilannya.[7]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana etika guru dalam prespektif hadist?
2.      Bagaimana etika siswa dalam prespektif ibnu jama’ah?
3.      Apa pengertian etika, guru, dan siswa?

C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Untuk mendeskripsikan etika guru dalam prespektif hadist.
2.      Untuk mendeskripsikan etika siswa dalam prespektif hadist.
3.      Supaya dapat mengetahui pengertain etika, guru, dan siswa.






BAB 2
KAJIAN TEORI
A.    Etika Guru
Menurut Webster’s Sirct sebagaimana yang dikutip oleh Mustofa mendefinisikan bahwa etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang disistimatisir tentang tindakan moral yang betul. Ada orang yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Akan tetapi, etika menurut filsafat ialah ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Sedangkan akhlak ialah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatanperbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan dianganangan lagi.[8]
Karakteristik etika dalam Islam, yaitu sebagai berikut:
1)      Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia pada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
2)      Etika Islam menetapkan bahwa sumber moral, ukuran baikburuknya perbuatan didasarkan pada ajaran Allah SWT. (AlQur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
3)      Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia dalam segala waktu dan tempat.
4)      Dengan rumus-rumus yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia, etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
5)      Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia pada jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pencaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju keridaanNya, sehingga terselamatkanlah manusia dari pikiran dan perbuatan yang keliru dan menyesatkan.[9]
Tugas guru bukan hanya sekedar mengajarkan kepada siswa dari yang tidak bisa apapun menjadi bisa. Akan tetapi seorang guru juga bertugas mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswanya. Seorang guru jangan merasa acuh tak acuh kepada siswanya, karena sudah memberikan materi yang akan dipelajari maka beliau merasa sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru. Guru dijadikan contoh oleh siswanya, maka seorang guru dapat memberikan contoh teladan yang baik untuk siswanya.
Contoh teladan adalah salah satu metode yang tidak diucapkan, tetapi dapat dilihat oleh peserta didik sebagai sesuatu yang layak untuk ditiru; misalnya cara berpakaian, bertutur kata, dan sikap sehari-hari seorang pendidik.[10] Seorang guru harus bisa berpakaian yang baik dan sopan agar siswanya pun dapat mencontoh hal baik tersebut. Kemudian harus bisa bertutur kata dengan lemah lembut supaya siswanya pun tidak merasa takut apabila ingin bertanya suatu hal yang tidak dimengerti. Selain contoh teladan adapula metode nasihat, dimana metode ini merupakan perkataan seorang pendidik kepada peserta didiknya.
Pada prinsipnya seorang pendidik merupakan pemberi nasihat, bertugas membentuk kepribadian seseorang. Di dalam membentuk kepribadian itu unsur utamanya adalah pembentukan jiwa. Di sini yang sangat diperlukan adalah transfer of value, pentransferan nilai-nilai. Nilai-nilai yang baik yang belum dikenal oleh peserta didik dimasukan ke dalam jiwanya, atau penguatan nilai-nilai yang baik juga bagian dari ini.
Etika guru terhadap siswa merupakan konsep kecintaan guru kepada siswanya. Rasa kecintaan tersebut akan melahirkan kelembutan dan kebijaksanaan, sabar, murah hati, kemudahan dalam mengajar serta semangat dan kekuatan, rela berkorban, perhatian dan penghargaan, adil, senang membantu, keramahan dan kasih sayang.[11] Etika guru terhadap siswa yaitu suatu adat kebiasaan atau akhlak seorang guru yang memiliki tanggung jawab membentuk karakter anak didik yang masih memerlukan bimbingan dan arahan.[12]
B.     Etika Siswa
Dalam menerangkan konsep murid, Imam Al Ghazali menawarkan beberapa etika murid yang terbagi menjadi dua hal, yaitu etika murid terhadap dirinya sendiri, dan etika murid terhadap guru. Bagi murid atau pelajar, ada berbagai etika dan tugas-tugas siswa yang harus dipenuhi menurut Imam Al Ghazali adalah sebagai berikut:
1)      Mengutamakan kesucian jiwa dari akhlak yang tercela. Kerena ilmu pengetahuan itu adalah kebaktian hati, shalat bathin, dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta’ala.
2)      Hendaknya seorang murid mengurangi kesibukan dunianya dan hijrah dari negerinya sehingga hatinya hanya terfokus untuk ilmu semata. Allah SWT tidak menjadikan dalam diri seseorang dua hati dalam satu rongga.
3)      Seorang murid jangan bersifat angkuh dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasihatnya, sebagaimana seorang sakit yang bodoh  yakin kepada dokternya yang ahli berpengalaman.
4)      Seorang pelajar pada tingkat permulaan, hendaknya menjaga diri dari mendengarkan perdebatan orang tentang ilmu pengetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena yang demikian itu meragukan pikirannya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan membawanya kepada berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya.
5)      Sorang pelajar tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun  dari ilmu pengetahuan yang baik dan tidak suatu macampun dari berbagai macamya. Selain dengan pandangan dimana ia memandang kepada maksud dan tujuan dari masing-masing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang maka ia mempelajarinya secara mendalam. Jika tidak maka diambilnya yang terpenting dan dikesampingkannya yang lain.
6)      Seorang pelajar itu tidak memasuki suatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak. tetapi memelihara tertib dan memulainya dengan yang lebih penting.
7)      Bahwa tidak mencemplungkan diri ke dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun dengan tertib.
8)      Seorang murid itu hendaklah mengetahui kedudukan dan manfaat ilmu. Hendaknya seorang murid memahami  kemuliaan atau kemanfaatan ilmu serta kekuatan dan kepercayaan dahlilnya.
9)      Tujuan murid menuntut ilmu adalah menghiasi kebatinannya dan mempercantikannya dengan sifat keutamaan dan   mendekatkan diri kepada Allah, mendaki untuk mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan orang-orang yang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah).
10)  Harus mengetahui kaitan ilmu pengetahuan dengan tujuannya. Supaya pengtahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwa itu, membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting. Yang penting artinya mengandung kepentingan untukmu sendiri. Dan taka da yang penting bagimu selain dari urusan mengenai dunia akhirat.[13]
C.    Hadist Etika Guru dan Siswa
تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ وَ اعْلَمُوْا بِهِ (في كتاب أدب العلم و المتعلم)
“Belajarlah kamu akan ilmu dan amalkanlah” (Adabu al-‘Alim wal Muta’allim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa ilmu itu adalah ruhnya kehidupan Islam dan tiangnya iman. Barang siapa yang belajar dari hasil tersebut ia mengamalkannya kepada orang lain, maka Allah akan mengajari sesuatu yang belum ia ketahui. Dari sini dapat kita pahami bahwa mengapa Islam mewajibkan umatnya mencari ilmu karena Islam hendaknya memuliakan umatnya dengan ilmu yang dimilikinya. Untuk itu, hendaklah kita jangan merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki, dan jangan lupa membatasi dalam mencari ilmu karena usia telah senja, selama hayat masih dikandung badan hendaknya kita tidak berhenti untuk menuntut ilmu agar kita mendapat keutamaan dan kemuliaan di dunia maupun akhirat kelak.
وَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّ يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيْحُهَا (رواه أبوا داود بأسناده صحيح)
Artinya: ”Dari Abu Hurairah berkata : Rasulallah SAW bersabda: barang siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan dari golongan ilmu yang semestinya untuk digunakan mencari ridha Allah SWT, tetapi ia mempelajarinya itu tidak lain maksudnya kecuali hendak memperoleh sesuatu tujuan dari keduniaan, maka orang yang demikian tadi tidak akan dapat menemukan keharuman syurga pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud)[14]















BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Objek dan Waktu Penelitian
Objek penelitian merupakan sesuatu yang menjadi perhatian dalam sebuah penelitian karena objek penelitian merupakan sasaran yang hendak dicapai untuk mendapatkan jawaban maupun solusi dari permasalahan yang terjadi.
Objek penelitian ini adalah pelaksanaan pengambilan dan pengumpulan data dari beberapa jurnal dan buku hadist dan hadist pendidikan. Pembuatan makalah ini dilakukan di Bogor, Jawa Barat.
Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini mulai dari 5 April 2020 hingga 25 April 2020, kurang lebih 2 minggu.
B.     Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode library lesson, yaitu pengambilan dan pengumpulan data dari referensi buku atau jurnal, dalam metode ini mendeskripsikan etika guru dan siswa dalam prespektif hadist nabi.
C.    Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data diambil dari beberapa buku hadist pendidikan dan beberpa jurnal.
D.    Data dan Sumber Data
1.      Data Primer
Pengambilan data primer diambil dari buku inti hadist pendidikan.
2.      Data Sekunder
Pengambilan data sekunder diambil dari beberapa jurnal yang saya ambil.
E.     Teknik Analisis Data
Analisis ini dilakukan dengan mengembangkan hasil data yang sudah didapat dari beberapa buku hadist pendidikan dan beberapa jurnal. Hasil penelitian ada beberapa tahap yang akan dianalisis, Antara lain:
1.      Menjelaskan latar belakang masalah hadist ini
2.      Mendeskripsikan bagaimana etika guru dalam prespektif hadist
3.      Mendeskripsikan bagaimana etika siswa dalam prespektif hadist
4.      Menjelaskan pengertian dari etika, guru, dan siswa
5.      Membuat kesimpulan yang akurat tentang hadist etika guru dan siswa dalam prespektif hadist







BAB 4
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A.    Etika Guru dalam Prespektif Hadist
1.      Pengertian Etika Guru
Menurut Webster’s Sirct sebagaimana yang dikutip oleh Mustofa mendefinisikan bahwa etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang disistimatisir tentang tindakan moral yang betul. Ada orang yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Akan tetapi, etika menurut filsafat ialah ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Sedangkan akhlak ialah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatanperbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan dianganangan lagi.[15]
Karakteristik etika dalam Islam, yaitu sebagai berikut:
6)      Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia pada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
7)      Etika Islam menetapkan bahwa sumber moral, ukuran baikburuknya perbuatan didasarkan pada ajaran Allah SWT. (AlQur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
8)      Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia dalam segala waktu dan tempat.
9)      Dengan rumus-rumus yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia, etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
10)  Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia pada jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pencaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju keridaanNya, sehingga terselamatkanlah manusia dari pikiran dan perbuatan yang keliru dan menyesatkan.[16]
Tugas guru bukan hanya sekedar mengajarkan kepada siswa dari yang tidak bisa apapun menjadi bisa. Akan tetapi seorang guru juga bertugas mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswanya. Seorang guru jangan merasa acuh tak acuh kepada siswanya, karena sudah memberikan materi yang akan dipelajari maka beliau merasa sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru. Guru dijadikan contoh oleh siswanya, maka seorang guru dapat memberikan contoh teladan yang baik untuk siswanya.
Contoh teladan adalah salah satu metode yang tidak diucapkan, tetapi dapat dilihat oleh peserta didik sebagai sesuatu yang layak untuk ditiru; misalnya cara berpakaian, bertutur kata, dan sikap sehari-hari seorang pendidik.[17] Seorang guru harus bisa berpakaian yang baik dan sopan agar siswanya pun dapat mencontoh hal baik tersebut. Kemudian harus bisa bertutur kata dengan lemah lembut supaya siswanya pun tidak merasa takut apabila ingin bertanya suatu hal yang tidak dimengerti. Selain contoh teladan adapula metode nasihat, dimana metode ini merupakan perkataan seorang pendidik kepada peserta didiknya.
Pada prinsipnya seorang pendidik merupakan pemberi nasihat, bertugas membentuk kepribadian seseorang. Di dalam membentuk kepribadian itu unsur utamanya adalah pembentukan jiwa. Di sini yang sangat diperlukan adalah transfer of value, pentransferan nilai-nilai. Nilai-nilai yang baik yang belum dikenal oleh peserta didik dimasukan ke dalam jiwanya, atau penguatan nilai-nilai yang baik juga bagian dari ini.
Etika guru terhadap siswa merupakan konsep kecintaan guru kepada siswanya. Rasa kecintaan tersebut akan melahirkan kelembutan dan kebijaksanaan, sabar, murah hati, kemudahan dalam mengajar serta semangat dan kekuatan, rela berkorban, perhatian dan penghargaan, adil, senang membantu, keramahan dan kasih sayang.[18] Etika guru terhadap siswa yaitu suatu adat kebiasaan atau akhlak seorang guru yang memiliki tanggung jawab membentuk karakter anak didik yang masih memerlukan bimbingan dan arahan.[19]
2.      Tanggung Jawab Pendidik
Tanggung jawab ini merupakan kewajiban menanggung, memelihara dan memberi latihan berupa pengajaran, mengenai akhlak dan kecerdaasan pikiran. Seorang pendidik memiliki tanggung jawab atas peserta didiknya bagaimana mengarahkannya menuju kedewasaan, baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang manusia. Berikut ini tanggung jawab pendidik:
a.       Tanggung Jawab Ilmiah
Sebagai seorang pendidik, terutama pendidik formal (guru), memiliki tanggung jawab keilmuan, yakni menyampaikan ilmunya kepada peserta didik. Dalam hal ini pendidik tidak boleh kikir untuk memberikan ilmu apalagi menyembunyikan ilmu. Di samping itu juga dia harus selalu menambah ilmunya, tidak boleh berhenti memberi dan menerima ilmu. Di dalam menyampaikan ilmu ini ada jadwal yang telah ditetapkan.[20]
b.      Tanggung Jawab Moral
Salah satu tugas pendidik ialah membentuk manusia berakhlakul karimah, memberikan dan menerapkan nilainilai baik kepada peserta didiknya.[21]
c.       Tanggung Jawab Professional
Pendidik yang professional adalah pendidik yang berpikir, bekerja dan berprilaku berdasarkan prinsip dan aturan profesionalisme.[22]
3.      Sifat-sifat Pendidik
Seorang pendidik bertugas untuk menciptakan suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik untuk berprilaku atau beradab sesuai dengan moral-moral, tata susila dan sopan santun yang berlaku dalam masyarakat.[23]
Guru dalam melaksanakan tugas tersebut, penting memiliki etika, dalam kajian ini akan di uraikan beberapa etika yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan hadis-hadis Rasulullah Saw yaitu: Ikhlas, takwa, berilmu, memiliki ketabahan dan menyadari tanggung jawab.[24]
a.       Takwa
وَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّ يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيْحُهَا (رواه أبوا داود بأسناده صحيح)
Artinya: ”Dari Abu Hurairah berkata : Rasulallah SAW bersabda: barang siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan dari golongan ilmu yang semestinya untuk digunakan mencari ridha Allah SWT, tetapi ia mempelajarinya itu tidak lain maksudnya kecuali hendak memperoleh sesuatu tujuan dari keduniaan, maka orang yang demikian tadi tidak akan dapat menemukan keharuman syurga pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud)
Pada hadis diatas dijelaskan bahwa berterimanya setiap amal di sisi Allah disyaratkan kepada ikhlas , oleh karena itu setiap pendidik yang menginginkan tugas mulianya itu diterima disisi Allah, mestilah ia melaksanakan tugasnya dengan ikhlas. Dan dijelaskan bahwa  berpahalanya suatu amal tergantung kepada keiklasan dalam melakukannya, oleh karena itu seorang yang berprofesi sebagai pendidik dan guru disamping mendapatkan imbalan materi dunia, janganlah mengabaikan pahala akhirat yang lebih baik dan abadi disisi Allah dengan berniat ikhlas dalam melaksanakan profesinya.
Hadis yang senada dengan ikhlas ini dijelaskan bahwa, Allah dalam menilai amal seseorang tidak ada kaitannya dengan fostur tubuh dan rupanya, tetapi Allah menilai amal itu yang pertama dari keikhlasan hati dan ketekutan seseorang dalam menjalankan tugasnya.Kedua dari sisi pelaksanaan lahiriyahnya, sesuai dengan ketentuan, maka seorang pendidik dalam melaksanakan tugas tugasnya, disamping dengan niat yang ikhlas, harus melaksanakan tugas sesuai dengan amanah yang ditetapkan kepadanya.
Pendidik yang ikhlas hendaklah berniat semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan atau hukuman. Buah yang dipetiknya adalah, ia akan melaksanakan metode pendidikan, mengawasi anak secara edukatif terus-menerus, di samping mendapat pahala dan ridha Allah.[25]
Ikhlas dalam perkataan adalah sebagian dari asas iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas. Perintah untuk ikhlas tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ   
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Sang guru, memulai niatnya dengan ikhlas, agar semuanya menjadi tampak menarik dan indah. Ikhlas bukanlah bermakna gratis, yaitu seorang yang telah mengajar dari pagi sampai sore, lalu dia tidak mendapat imbalan berupa gaji atau honor, gambaran seperti itulah yang dimaksud dengan ikhlas, tentu ini persepsi yang keliru. Seseorang tidak salah menerima imbalan yang wajar dan bahkan itu sesuatu yang wajar normal, tetapi yang salah itu mengedepankan dalam pikiran dan perilaku tentang uang. Belum lagi bekerja atau sedang bekerja yang selalu terbayang dan memotivasi dirinya pada materi. Seorang guru teladan, tidak demikian pikirannya, yang diutamakannya ialah kerja dan semangat bekerja, dan setelah dia bekerja, maka dia layak memperoleh imbalan.
b.      Cinta
Cinta adalah penggerak utama kreativitas manusia dalam hidup. Pernah kita saksikan seorang ayah berhujan dan berpanas bekerja di sawah atau di lading dengan dorongan cintanya kepada anak dan istrinya guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan dorongan cinta pula seorang rela berkorban demi yang dicintainya. Seorang guru mestilah mencintai muridnya, guru menjadikan muridnya seperti anak kandungnya sendiri. Seorang guru yang mencintai muridnya akan mengharapkan bahwa sang murid akan sukses. Cinta sang gurulah yang akan melahirkan semangat mengajar guru, kelembutan hati, kasih sayang, motivator, kerelaan berkorban, mengedepankan kesuksesan murid. Dari cinta sang guru inilah lahirnya berbagai sifat dan sikap baik lainnya. Dari cinta sang guru inilah lahir kepedulian.[26]
Rasulallah SAW mencontohkan hal ini dengan menyatakan posisinya ditengah-tengah para sahabat:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حّتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ ؤَالِدِهِ ؤَ ؤَلَدِهِ (رؤاه البخارى)
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulallah SAW bersabda; demi jiwaku yang berada digenggamannya tidak beriman (tidak sempurna iman) seseorang diantara kalian sebelum diriku lebih dicintai olehnya dari kecintaannya kepada anaknya dan orangtuanya”. (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadis di atas guru hendaklah mempunyai sifat kasih sayang kepada anak didiknya sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri. Tugas guru bukan sekedar mengajar tapi lebih dari itu guru harus menganggap peserta didiknya seperti anaknya sendiri sehingga anak merasa dicintai dan diperhatikan. Hal ini bisa dipastikan interaksi edukatif dalam proses belajar mengajar akan mudah dilaksanakan sehingga tujuan pendidikan akan berhasil.
c.       Teladan
“Ulama adalah pewaris Nabi.” (Riwayat an-Najjar), Nabi menjadi panutan, contoh teladan, maka guru juga menjadi panutan. Keteladanan memiliki posisi penting dalam dunia pendidikan. Seorang peserta didik termotivasi berakhlak baik, karena dia melihat contoh teladan yang baik pula. Keteladanan adalah “guru” yang diam. Ia akan memasuki relung hati sang murid, dan dihadapan matanya ada sosok yang diidolakannya. Apabila keteladanan musnah, maka sesungguhnya bangsa dan kaum itu sedang berada dalam krisis yang luar biasa.
Guru-guru sebagai pendidik, dengan wibawanya dalam pergaulan membawa murid sebagai anak didik kearah kedewasaan. Memanfaatkan pergaulan sehari-hari dalam pendidikan merupakan cara yang paling baik dan efektif dalam pembentukan pribadi dan dengan cara ini pula maka hilanglah jurang pemisah antara guru dan anak didik.[27]    
Hal ini berdasarkan hadist Nabi SAW:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا وَ أجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شِيْئٌ (رواه مسلم)
Artinya: “Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala orang yang menirunya setelah dia, dengan tidak dikurangi pahalanya sedikitpun. Dan barang siapa yang melakukan sesuatu perbuatan yang jelek, ia akan menanggung dosanya dan dosa orangorang yang menirukannya, dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun”. (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis di atas bahwa sejatinya guru sebagai penunjuk jalan yang cerah bagi peserta didiknya, dan guru sebagai model keteladanan yang terus menerus menjadi panutan bagi anak didiknya, sehingga apa yang dilakukan oleh gurunya maka peserta didik pun akan mengikutinya.
Jelaslah bahwa nilai-nilai yang baik akan menjadi tabungan pahala baginya, bahkan bila peserta didik meniru perbuatan baik tersebut akan mendapatkan pahala orang yang menirunya, dengan tanpa dikurangi pahala sedikitpun. Dan kelanjutan dari hadis tersebut guru harus mencegah peserta didiknya dari perbuatan yang tercela, dan guru harus menjauhi dari perbuatan-perbuatan dosa sehingga kepribadian guru akan terjaga sampai kapanpun.[28]

d.      Objektif
Membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, itulah gambaran dari sifat dan sikap objektif. Sikap ini adalah sikap yang berasal dari sikap jujur dan benar. Di sini akan dilihat aplikasinya tidak pilih kasih.[29]
Adapun hadis yang berkenaan dengan masalah ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad:
      عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنِى خَلِيلِى صلى الله عليه وسلم بِسَبْعٍ أَمَرَنِى بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِى أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِى وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِى وَأَمَرَنِى أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَسْأَلَ أَحَداً شَيْئاً وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَخَافَ فِى اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ وَأَمَرَنِى أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ
Dari Abu Dzaar, ia berkata, “Kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan tujuh hal padaku: mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, beliau memerintah agar melihat pada orang di bawahku (dalam hal harta) dan janganlah lihat pada orang yang berada di atasku, beliau memerintahkan padaku untuk menyambung tali silaturahim (hubungan kerabat) walau kerabat tersebut bersikap kasar, beliau memerintahkan padaku agar tidak meminta-minta pada seorang pun, beliau memerintahkan untuk mengatakan yang benar walau itu pahit, beliau memerintahkan padaku agar tidak takut terhadap celaan saat berdakwa di jalan Allah, beliau memerintahkan agar memperbanyak ucapan “laa hawla wa laa quwwata illa billah” (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), karena kalimat tersebut termasuk simpanan di bawah ‘Arsy.” (HR. Ahmad 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih, namun sanad hadits ini hasan karena adanya Salaam Abul Mundzir)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin memberikan contoh mengenai hadits “Berkata yang benar walaupun pahit” yaitu dalam hal orang awam yang biasa berkomentar sinis atau tidak suka terhadap ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau membawakan tiga contoh ketika menjelaskan hadits dalam Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi.
e.       Emosi stabil
Praktiknya dalam kehidupan sehari-hari guru dapat mengendalikan dirinya. Dapat dimaklumi bahwa tingkah laku peserta didik bermacam-macam, di antara mereka ada saja yang menjengkelkan guru. Di sinilah ditutut kematangan emosi dan kestabilannya.[30]
f.       Tawadhu’
Tawadhu’ adalah sifat rendah hati, lawannya sombong. Allah mencintai orang yang tawadhu’ dan membenci kesombongan. Guru yang rendah hati adalah guru yang rela menerima kebenaran dari mana pun datangnya, walaupun itu dari muridnya, mungkin ada pendapat, saran dan pemikiran muridnya yang cemerlang dan bagus, maka tanpa merasa kehilangan wibawa sang guru dengan ikhlas menerimanya. Begitu juga ketika mengajar mungkin ada kebenaran ilmu yang disampaikan muridnya, maka sang guru tidak merasa malu untuk mengakuinya.[31]
g.      Qanaah (Tidak Materialistis)
Sikap yang diambil oleh guru dalam hal ini tidak menggadaikan prinsip akhlakul karimahnya. Sang guru harus tegar mengedepankan prinsip hidup qanaah. Banyak cara yang dapat ditempuh oleh guru yang materialistik untuk memperoleh penghasilan yang tidak halal, tetapi itu tidak dilakukannya. Prinsip seperti inilah yang disebut dengan prinsip qanaah[32]
h.      Berilmu
Perkataan ‘ilm dilihat dari sudut kebahasan bermakna penjelasan. Dipandang dari akar katanya artinya kejelasan. Semua ilmu yang disandarkan pada manusia mengandung arti kejelasan. Menurut Alqur’an ilmu adalah suatu keistimewaan pada manusia yang menyebabkan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain.[33] Allah SWT menjanjikan dalam firmannya yaitu al-Qur’an bahwa orangorang yang berilmu akan diangkat derajatnya di sisi Allah. Keteranganketerangan dalam hadis Nabi pun sangat banyak, diantaranya sebagai berikut:
وَ رُوِيَ أَبُوْ أُمَامَة قَالَ : سُئشلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهش وَ سَلَّمَ عَنْ رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا عَالِمٌ وَالْأخَرُ عَابِدٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمُ كَفَضْلِيْ عَلى أدْنَامِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَ مَلَائِكَتُهُ وَ أَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِيْنَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِيْ جُحْرِهَا وَ حَتَّى الحُوْتَ لِيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسَ الْخَيْرَ (رواه الترمذي)
Artinya: “Diriwayatkan oleh abu Umamah dia berkata Rasulallah ditanya tentang dua orang laki-laki, yaitu ilmuan dan hamba biasa, Rasul berkata: keutamaan ilmuan seperti di atas keutamaanku di atas kamu semua, dan sesungguhnya Allah ‘azza wajalla dan malaikat serta semua ahli langit dan bumi termasuk semut di dalam lubang dan ikan di dalam laut, mereka semua mendoakan ilmuan dengan do’a yang baik”. (HR. at-Turmudzi)
Hadis di atas menjelaskan tentang keutamaan orang yang berilmu, guru sebagai orang dewasa dan berilmu harus menunjukkan dan mengarahkan peserta didiknya bahwa tujuan mencari ilmu tidak lain semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan mencari kedudukan dan pangkat. Anak didik senantiasa diarahkan dan dibimbing agar tidak salah dalam menentukan jalannya, guru berkewajiban mengembangan potensi yang ada dalam peserta didik agar ia mampu pengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Islam memandang tinggi terhadap ilmu dan ilmuan, seorang ilmuan yang mampu melahirkan generasinya menjadi generasi yang cerdas dan berintelektual dan Allah SWT akan mengangkat orang yang berilmu ke derajat yang sangat tinggi berdasarkan firmannya yang berbunyi:
            يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan didalam majelis-majlis,” maka lapangkanlah untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilan kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat yang tinggi. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)[34]
B.     Etika Siswa dalam Prespektif  Ibnu Jama’ah
Dalam menerangkan konsep murid, Imam Al Ghazali menawarkan beberapa etika murid yang terbagi menjadi dua hal, yaitu etika murid terhadap dirinya sendiri, dan etika murid terhadap guru. Bagi murid atau pelajar, ada berbagai etika dan tugas-tugas siswa yang harus dipenuhi menurut Imam Al Ghazali adalah sebagai berikut:
11)  Mengutamakan kesucian jiwa dari akhlak yang tercela. Kerena ilmu pengetahuan itu adalah kebaktian hati, shalat bathin, dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta’ala.
12)  Hendaknya seorang murid mengurangi kesibukan dunianya dan hijrah dari negerinya sehingga hatinya hanya terfokus untuk ilmu semata. Allah SWT tidak menjadikan dalam diri seseorang dua hati dalam satu rongga.
13)  Seorang murid jangan bersifat angkuh dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasihatnya, sebagaimana seorang sakit yang bodoh  yakin kepada dokternya yang ahli berpengalaman.
14)  Seorang pelajar pada tingkat permulaan, hendaknya menjaga diri dari mendengarkan perdebatan orang tentang ilmu pengetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena yang demikian itu meragukan pikirannya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan membawanya kepada berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya.
15)  Sorang pelajar tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun  dari ilmu pengetahuan yang baik dan tidak suatu macampun dari berbagai macamya. Selain dengan pandangan dimana ia memandang kepada maksud dan tujuan dari masing-masing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang maka ia mempelajarinya secara mendalam. Jika tidak maka diambilnya yang terpenting dan dikesampingkannya yang lain.
16)  Seorang pelajar itu tidak memasuki suatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak. tetapi memelihara tertib dan memulainya dengan yang lebih penting.
17)  Bahwa tidak mencemplungkan diri ke dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun dengan tertib.
18)  Seorang murid itu hendaklah mengetahui kedudukan dan manfaat ilmu. Hendaknya seorang murid memahami  kemuliaan atau kemanfaatan ilmu serta kekuatan dan kepercayaan dahlilnya.
19)  Tujuan murid menuntut ilmu adalah menghiasi kebatinannya dan mempercantikannya dengan sifat keutamaan dan   mendekatkan diri kepada Allah, mendaki untuk mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan orang-orang yang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah).
Harus mengetahui kaitan ilmu pengetahuan dengan tujuannya. Supaya pengtahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwa itu, membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting. Yang penting artinya mengandung kepentingan untukmu sendiri. Dan taka da yang penting bagimu selain dari urusan mengenai dunia akhirat.[35]
1.      Pengertian Akhlak Siswa
Menurut Al-Ghazali akhlak adalah sifat yang tertanam pada jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[36] Maksud perbuatan yang dilahirkan dengan mudah tanpa pikir lagi disini bukan berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak dikehendaki. Jadi perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu benar-benar sudah merupakan “azimah”, yakni kemauan yang kuat tentang sesuatu perbuatan, oleh karenanya jelas perbuatan itu memang sengaja dikehendaki adanya. Hanya saja karena keadaan yang demikian itu dilakukan secara kontinyu, sehingga sudah menjadi adat atau kebiasaan untuk melakukannya, dan karenanya timbullah perbuatan itu dengan mudah tanpa dipikir lagi.[37]
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (Bab 1 Pasal 1, ayat 4).[38] Dengan demikian, akhlak siswa merupakan segala perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan dengan refleks (spontan) oleh siswa dan dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dari diri siswa tersebut.
Selain akhlak yang baik yang harus dimiliki siswa, adapula kode etik yang harus diikuti oleh seorang siswa diantaranya:
a.       Membersihkan hati dari kotoran.
b.      Meluruskan niat.
c.       Menghargai waktu.
d.      Menjaga kesederhanaan makan dan pakaian.
e.       Membuat jadwal kegiatan yang ketat.
f.       Menghindari makan terlalu banyak.
g.      Bersifat wara’, mengurangi mengonsumsi makanan yang menyebabkan kebodohan dan kelemahan.
h.      Meminimkan waktu tidur, tetapi tidak mengganggu kesehatan.
i.        Membatasi pergaulan, hanya dengan orang yang bisa bermanfaat bagi belajar.[39]
Setiap perilaku manusia didasarkan atas kehendak. Apa yang telah dilakukan oleh manusia timbul dari kejiwaan. Walaupun pancaindera kesulitan melihat pada dasar namun dapat dilihat dari wujud kelakuan. Maka setiap kelakuan pasti bersumber dari kejiwaan. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi bentuk akhlak, diantaranya:
a.       Insting
Menurut James, insting ialah suatu alat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir lebih dahulu kearah tujuan itu dan tiada dengan didahului latihan perbuatan itu.
b.      Pola Dasar Bawaan (Turunan)
Pada awal perkembangan kejiwaan primitif, bahwa ada pendapat yang mengatakan kelahiran manusia itu sama. Dan yang membedakan adalah faktor pendidikan. Tetapi pendapat baru mengatakan tidak ada dua orang yang ke luar di alam keujudan sama dalam tubuh, akal dari akhlaknya. Ada teori yang mengemukakan masalah turunan (bawaan), yaitu: Turunan (Pembawaan) dan Sifat-sifat bangsa.
c.       Lingkungan
Lingkungan ialah suatu yang melingkungi tubuh yang hidup. Lingkungan tumbuh-tumbuhan oleh adanya tanah dan udaranya, lingkungan manusia ialah apa yang melingkunginya dari negeri, lautan, sungai, udara dan bangsa. Lingkungan ada dua macam yaitu: Lingkungan Alam dan Lingkungan Pergaulan.
d.      Kebiasaan
Kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang terus sehingga mudah dikerjakan bagi seseorang. Seperti kebiasaan berjalan, berpakaian, berbicara, berpidato, mengajar, dan lain sebagainya. Orang berbuat baik atau buruk karena dua faktor dari kebiasaan yaitu: kesukaan hati terhadap suatu pekerjaan; menerima kesukaan itu, yang akhirnya menampikkan perbuatan. Dan diulang-ulang terus menerus.
e.       Kehendak
Suatu perbuatan ada yang berdasar atas kehendak dan bukan hasil kehendak. Contoh yang berdasarkan kehendak adalah menulis, membaca, mengarang atau berpidato dan lain sebagainya. Adapun contoh yang berdasarkan bukan kehendak adalah detik hati, bernafas dan gerak mata.
f.       Pendidikan
Dunia pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlak seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada dirinya. Semula anak belum tahu perhitungan, setelah memasuki dunia pendidikan sedikit banyak mengetahui. Kemudian dengan bekal ilmu tersebut, mereka memiliki wawasan luas dan diterapkan ke hal tingkah laku ekonomi. Begitu pula apabila, siswa diberi pelajaran “Akhlak”, maka memberitahu bagaimana seharusnya manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya dan Penciptanya (Tuhan).[40]
Akhlak terbagi menjadi tiga yaitu: Akhlak kepada Allah dan Rasul, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta.
a.       Akhlak Kepada Allah dan Rasul
Akhlak kepada Allah, adalah selalu merasa kehadiran Allah dalam kehidupan manusia. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 186 yang menerangkan bahwa Allah berada dekat dengan hamba-hamba-Nya dan akan mengabulkan do’a orang-orang yang berdo’a.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. al-Baqarah [2]: 186).[41]
b.      Akhlak Kepada Manusia
1)      Akhlak Kepada Diri Sendiri
Akhlak kepada diri memenuhi kewajiban dan hak diri, ditunaikan kewajiban dan dimanfaatkan atau diambil hak. Seluruh anggota tubuh manusia mempunyai hak dan harus ditunaikan. Disinilah terkait dengan pemeliharaan diri agar sehat jasmani dan rohani menunaikan kebutuhan diri, baik yang bersifat biologis maupun spiritual.
2)      Akhlak Kepada Keluarga
Dimulai dari akhlak kepada orang tua, berbuat baik seperti yang tertera pada surah Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Luqman [31]: 14)[42]
3)      Akhlak Kepada Tetangga
Rasul sangat memberi perhatian tentang masalah yang berkenaan dengan “jiran” atau tetangga, sehingga begitu tinggi perhatian yang diajarkan Nabi untuk menghormati dan menyayangi tetangga.
4)      Akhlak Kepada Masyarakat
Luas Akhlak terhadap masyarakat menyangkut bagaimana menjalin ukhuwah, menghindarkan diri dari perpecahan serta saling bermusuhan.
c.       Akhlak Kepada Alam Semesta
Akhlak terhadap alam semesta, terkait erat dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah di Bumi. Fungsi kekhalifahan manusia itu terkait dengan eksploitasi kekayaan alam semesta.[43]
2.      Karakteristik Siswa
Setiap individu memiliki ciri, sifat bawaan (heredity), dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Ahli psikologi berpendapat bahwa kepribadian dibentuk oleh perpaduan faktor pembawaan dan lingkungan. Karakteristik bawaan, baik yang bersifat biologis maupun psikologis, dimiliki sejak lahir. Apa yang dipikirkan, dikerjakan atau dirasakan seseorang, atau merupakan hasil perpaduan antara apa yang ada di antara faktor-faktor biologis yang diwariskan dan pengaruh lingkungan sekitarnya. Tanpa memedulikan umur seorang anak, karakteristik pribadi yang dibawa ke sekolah terbentuk dari pengaruh lingkungan. Hal itu berpengaruh cukup besar terhadap keberhasilan atau kegagalannya di sekolah dan pada masamasa perkembangan selanjutnya. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap (ajeg), sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan faktor psikologis lebih mudah berubah karena dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan.[44]
Siswa Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah pada umumnya adalah siswa usia remaja. Remaja sebagai periode tertentu dari kehidupan manusia merupakan suatu konsep yang relatif baru dalam kajian psikologi. Menurut Abin Syamsuddin Makmun, perilaku dan pribadi siswa MTs atau SMP sudah memasuki masa remaja. Hal ini dijelaskan lebih lanjut bahwa rentangan masa remaja itu berlangsung dari sekitar 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut umur kalender kelahiran seseorang. Masa remaja terbagi menjadi dua, yaitu masa remaja awal (usia 11-13 tahun sampai 14-15 tahun) dan masa remaja akhir (usia 14-16 tahun sampai 18-20 tahun).[45] Dengan demikian siswa MTs atau SMP yang dijadikan subyek penelitian penulis termasuk dalam golongan masa remaja awal. Karena pada masa remaja ini seorang siswa akan lebih senang mencontoh dan mengikuti zaman. Maka dari itu seorang guru harus bisa menjadi pembimbing yang baik supaya bisa mengarahkan siswanya berprilaku yang baik atau memiliki akhlak mahmudah.
Dalam buku-buku psikologi perkembangan, berdasarkan usianya siswa MTs atau SMP dimasukkan ke dalam kategori remaja awal, yaitu dengan usia berkisar antara 12-15 tahun. Menurut Sri Rumini, dkk, karakteristik remaja awal diantaranya:
a.       Keadaan Perasaan dan Emosi
Keadaan perasaan dan emosinya sangat peka sehingga tidak stabil. Staniey Hall menyebutkan: “storm and stress” atau badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosi. Remaja awal dilanda pergolakan sehingga selalu mengalami perubahan dalam perbuatannya.
b.      Keadaan Mental
Kemampuan mental khususnya kemampuan berpikirnya mulai sempuna dan kritis (dapat melakukan abstraksi). Ia mulai menolak hal-hal yang kurang dimengerti. Maka sering terjadi pertentangan dengan orang tua, guru, maupun orang dewasa lainnya.
c.       Keadaan Kemauan
Kemauan dan keinginan mengetahui berbagai hal dengan jalan mencoba segala hal yang dilakukan orang lain.
d.      Keadaan Moral
Pada awal remaja, dorongan seks sudah cenderung memperoleh pemuasan sehingga mulai berani menunjukkan sikap-sikap agar menarik perhatian.
C.    Pengertia dari Etika, Guru, dan Siswa
1.      Pengertian Eika
Etika berasal dari kata etik yang berarti aturan, tata susila, sikap atau akhlak. Menurut kamus besar bahasa Indonesia etika merupakan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.[46]
Menurut M. Sastrap Radja, etika merupakan bagian dari filsafat yang mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk).[47] Pendapat lain mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia umumnya, teristimewa yang mengalami gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuaannya yang dapat merupakan perbuatan.[48]
Dalam buku etika kehumasan, bahwa etika digunakan untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Jadi etika itu studi tentang benar atau salah dalam tingkah laku. maka tugasnya mencari ukuran baik buruknya tingkah laku manusia.[49] Kemudian Rosadi mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, bahwa etika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya. Sedang menurut Sonny Kerap etika itu ada bersif'at umum dan ada bersifat khusus. Etika umum adalah kondisi dasar bagaimana manusia bertindak etis dalam mengambil keputusan. Etika  khusus adalah penerapan prinsip moral, dalam pengambil keputusan dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Etika khusus ini mencakup etika individual (perorangan), dan etika sosial, berkaitan dengan kewajiban, sikap, perilaku sebagai anggota masyarakat, yang berkaitan dengan sopan santun, tata krama, tolong menolong dan lain-lain.
Etika yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah ilmu yang membahas tentang sikap atau akhlak seseorang baik ketika berinteraksi dengan orang lain maupun ketika sendirian yang didasarkan kepada ajaran agama Islam, khususnya menurut hadist Rasulullah SAW. 
Etika guru adalah menguraikan tentang aturan tata susila, sikap yang harus dimiliki oleh guru dalam prof'esinya Sebagai pendidik, pengajar, pelatih, pembimbing dan penilai.
Etika atau ahklak adalah salah satu sarana membina kehidupan, inilah yang ditegakkan Rasulullah dalam pembentukan masyarakat Islam, kejayaan ummat lslam dan bangsa terletak pada ahklaknya, selama bangsa itu masih memegang norma-norma ahklak dan kesusilaaan yang teguh, maka selama itu bangsa menjadi jaya dan bahagia.[50]
Untuk mendapatkan kejayaan dan kebahagiaan guru, perlu memiliki etika yang bersumber dari hadis-hadis Rasasululah SAW karena kedudukan hadis menempati posisi kedua setelah al’quran dijelaskan.
Ruang lingkup kajian etika guru sangat luas, guru tidak hanya memperhatikan mengajar di kelasnya saja, tapi juga di luar kelas, karena guru merupakan sumber keteladanan baik bagi anak didiknya dan orang lain, maka etika guru mencakup:
1.      Etika guru terhadap diri sendiri
2.      Etika guru terhadap profesi
3.      Etika guru terhadap anak didik
4.      Etika guru terhadap atasan
5.      Etika guru terhadap teman sejawat / sesama guru
6.      Etika guru terhadap pegawai
7.      Etika guru terhadap orang tua / masyarakat
2.      Pengertian Guru
Dalam Islam guru merupakan profesi yang amat mulia, dia bukan hanya sekedar tenaga pengajar tetapi sekaligus adalah pendidik, oleh karena itu pada diri seorang guru bukan hanya terpenuhi kualifikasi keilmuan dan akademis saja, tetapi juga harus terpenuhi akhlaknya dari hal inilah diharapkan anak didik bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga menerapkan sifat yang terpuji pada tingkah lakunya.
Guru memiliki banyak tugas, baik yang terkait oleh dinas maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Muh Uzer Usman mengkelompokkan tugas guru kepada tiga jenis yakni tugas dalam profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.[51] Tugas guru sebagai profesi meliputi, mendidik, mengajar dan melatih Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknolog, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan, harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua harus mampu menarik simpati, sehingga ia menjadi idola para siswanya , sedangkan tugas guru dalam bidang kemasyarakatan adalah mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral serta mencerdaskan bangsa Indonesia.[52] Guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peran penting dalam menentukan  gerak maju kehidupan hangsa. Bahkan menurut Uzer Usman kerberadaan guru  merupakan faktor "( condisio Sine Guenon )" yang tidak mungkin diganti oleh komponen menapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu, terlebih diera tekhnologi yang kian canggih saat ini, Maka semakin akurat guru melaksanakan tugasnya dan terpenuhi kualifikasi moralnya, maka semakin terjamin kualitasnya.[53]
Pendidikan yang bermutu selalu menjadi harapan baik oleh penyelenggara pendidikan, pemerintahan maupun masyarakat, khususnya penyelanggara pendidikan harus mampu menghasilkan anak didik yang berkualitas.
Tugas guru di atas merupakan pekerjaan berat dalam rangka menghasilkan anak didik yang berkualitas, tentu membutuhkan berbagai keahlian dan kebijaksanaan serta pemilikan etika dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam rangka meningkatkan mutu guru telah banyak usaha yang telah dilakukakn pemerintah, diantaranya melalui jenjang pendidikan. penataran-penataran, latihan-latihan seminar dan loka karya pembinaan kerja keprofesionalan secara khusus dan membuat program sertifikasi guru. Dari usaha-usaha pemerintah tersebut nampaknya masih ada keluhan masyarakaf tentang rendahnya mutu pendidikan, karena penyelenggaraan pengajaran yang belum efektif.
Dengan melihat sepintas, bahwa rendahnya mutu pendidikan tersebut, karena mementingkan pemilikan kualifikasi keilmuan, sedangkan kualifikasi etika terabaikan. Untuk itu sangat penting pemilikan etika bagi seorang guru, karena dengan etika seorang guru akan menimbulkan sikap simpatik murid kepadanya, materi yang diberikannya lebih mudah di serap muridnya, guru akan berwibawa menjadi pribadi yang dapat di percayakan, memudahkan keberhasilan tugas, etos kerja tinggi sehingga hidup guru terasa indah, tetapi tanpa etika guru tidak dapat mencapai hal yang optimal.
Ketinggian etika yang dibentuk pada guru, akan dapat menfungsikan hidupnya dan mampu melaksanakan kewajiban dan pekerjaannya dengan baik. Sehingga menjadikan hidupnya bahagia, walaupun faktor hidup lain seperti harta tidak ada padanya. Sebaliknya apabila seorang guru buruk etikanya tertarik dengan perbuatan-perbuatan tercela. Terpacu mengejar materi, maka harapan masyarakat akan gagal, tetapi dengan memiliki etika akan dapat mengawasinya dari perbuatanperbuatan tercela tidak saling sengketa, tidak ada kecurigaan dan kebencian dalam pergaulan.
Disisi lain, peranan etika bagi kehidupan guru, melebihi peranan ilmu, dengan ilmu guru daprat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi dalam batas-batas tertentu, kekacauaan dan kejahatan tidak bisa dicegah dengan ilmu saja, kakacauaan dan kejahatan yang timbul bukan karena kekurangan ilmu, melainkan kurangnya etika. Guru-guru khususnya saat ini, pada umumnya memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi, mengemban berbagai macam titel seperti S-1, S-2 dan S-3, tetapi jika di teliti etikanya, sikap dan tingkah lakunya, sehari-hari sebagian sungguh rendah, tidak sebanding dengan ilmu yang dimilikinya, oleh karena itu kedudukan etika dalam kehidupan guru melebihi kedudukan ilmu, seperti kata pujangga Arab ‛Al Adabu, Fauqol ilmi adab itu lebih tinggi dari ilmu.
Menurut Hery Noer Ary Guru adalah orang yang menerima amanat orang tua untuk mendidik anak, menurut UUD No 14 tahun 2005 tentang guru dan Dosen, guru adalah Pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Kemudian guru sebagai tenaga profesional ‚menggunakan teknik dan Prosedur yang berpijak pada landasan Intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian dipergunakan demi kemaslahatan orang lain.[54]
Seorang pekerja profesional juga ditandai adanya in formed Responsiperess terhadap implikasi kemasyarakatan dari objek kerjanya, berarti seorang pekerja profesional atau guru harus memiliki persepsi Filosofis dan ketanggapan yang bijaksana yang lebih mantap dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya.[55]
Seorang guru sebagai tenaga profesional kependidikan dapat juga ditandai dengan serentetan diagnosis, rediagnosis dan penyesuaian yang terus menerus. Dalam hal ini disamping kecermatan untuk menentukan langkah, guru juga harus sabar, ulet dan teladan serta tanggap terhadap setiap kondisi sehingga di akhir pekerjaannya akan membuahkan hasil yang memuaskan.[56]
3.      Pengertian Murid
Murid merupakan orang yang pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Murid sebagai manusia perlu dibina dan dibimbing dengan perantara guru, ia memiliki potensi akal untuk dijadikan kekuatan agar menjadi manusia susila yang cakap.[57]















BAB 5
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan, dan keberadaannya sangat dibutuhkan. Dengan gurulah anak-anak akan tumbuh berkembang dan terdidik sehingga menjadi orang pintar dan berkepribadian baik. Karena itu guru harus mampu menjaga kepercayaan yang di berikan kepadanya.
Maka salah satu hal yang harus dimiliki oleh guru adalah etika, disamping persyaratan-persyaratan lain, etika-etika yang harus dimiliki guru dalam hadis Rasulullah Saw adalah ikhlas, takwa, berilmu, memiliki ketabahan dan menyadari tanggung jawab.
Peranan etika dalam tugas keguruan sangat besar fungsinya antara lain: akan menimbulkan simpatik murid dan hormat, materi yang disampaikan guru mudah diserap murid serta mudah membentuk keperibadian muridnya, dapat menyelamatkan guru dari kemurkaan Allah Saw, guru memperoleh wibawa dan derajad dalam kehidupannya, guru dapat dipercaya, dapat memudahkan keberhasilan. Tugas guru menumbuhkan etos kerja yang tinggi bagi guru dan hidup guru terasa indah.
2.      Implikasi Untuk PAI
Implikasi untuk PAI dari pembahasan ini adalah tugas guru dalam hadis tidak hanya sebagai pengajar, yaitu guru bukan sekedar memberikan ilmu atau pengalihan ilmu kepada peserta didiknya, akan tetapi guru sebagai pendidik, yaitu guru berkewajiban menanamkan nilai-nilai kebajikan seperti akhlak, etika, moral dan lain sebagainya. Sedangkan etika guru menurut hadis yaitu guru sebagai teladan/idola, sumber inspirasi serta menanamkan sifat-sifat mulia yang lain agar peserta didik menjadi insan kamil.
Implikasi untuk PAI tersebut dapat diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :
1)      Tugas guru dalam hadis tarbawi antara lain sebagai berikut:
a.       Guru hendaklah memiliki rasa kasih sayang kepada peserta didik,
b.      Guru hendaklah berfungsi sebagai pengarah dan penunjuk bagi peserta didiknya,
c.       Guru dalam mengajar hendaklah bermaksud mendekatkan diri kepada Allah,
d.      Guru hendaknya mencegah peserta didik dari perbuatan dekadensi moral,
e.       Guru dalam mengajar hendaklah memakai bahasa yang sesuai dengan tingkat berfikir peserta didik,
f.       Guru mensucikan dan membersihkan peserta didik dari sifat tercela dan menghiasi dengan sifat mulia,
g.      Guru mentransformasikan pengetahuan dan mengamalkan ilmunya,
h.      Guru hendaklah meluruskan niat peserta didik dengan ikhlas dalam menuntut ilmu.
2)      Etika guru menurut hadis Tarbawi adalah:
a.       Guru dalam menyampaikan ilmu hendaklah mengaharap ridha Allah SWT, menyebarkan ilmu dan menhidupkan syari’ah,
b.      Guru tidak merendahkan peserta didiknya disebabkan karena bebal otaknya,
c.       Guru menanamkan akhlak mulia terhadap peserta didiknya,
d.      Guru sebagai sumber tauladan bagi peserta didiknya.















DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cet, ke-5,
hal. 15.
Ondi Saondi dan Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal. 90.
Faizal Djabidi, Manajemen Pengelolaan Kelas, (Malang: Madani, 2016), hal. 35.
El-Qurtuby, Usman, Andi Subarkah, 2012, Al-Qur’an & Terjemah Tajwid, Bandung: Cordoba.
Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cet ke-3, hal. 12.
Ahmad Yusam Thobroni, Jurnal Pendidikan Agama Islam, hal. 305.
Ramayulis dan Samul Nizar. (2011). Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: PT. Kalam Mulia,
Abu Hamid al-Ghazali. (2002). Etika Islam Bimbingan Awal Menuju Hidayah Ilahi. Bandung: PT. Pustaka Setia.






[1]  Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cet, ke-5,
hal. 15.
[2]  Ondi Saondi dan Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal. 90.
[3]  Faizal Djabidi, Manajemen Pengelolaan Kelas, (Malang: Madani, 2016),
hal. 35.
[4] El-Qurtuby, Usman, Andi Subarkah, 2012, Al-Qur’an & Terjemah Tajwid, Bandung: Cordoba.
[5]  Mustofa, Akhlak Tasawuf, Op. Cit., hal. 13.
[6]  Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cet ke-3, hal. 12.
[7] Ahmad Yusam Thobroni, Jurnal Pendidikan Agama Islam, hal. 305.
[8]  Mustofa, Akhlak Tasawuf, Op.Cit.,  hal. 15.
[9]  Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,  (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),
hal. 17.
[10]  Ibid,  hal. 125.
[11]  Suparta Munzier, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Aniscol, 2003), hal. 2.
[12]  Imam As’Ari (1403916165). Dikutip pada tanggal 07 Juli 2018 pukul 21.20 WIB.
[13]  Al Ghazali. t.th.  Ihya Ulumuddin, Semarang: Toha Putra, hal. 50-53.
[14] Vanos, Journal Of Mechanical Engineering Education, Vol.1, No.2, Desember 2016.
[15]  Mustofa, Akhlak Tasawuf, Op.Cit.,  hal. 15.
[16]  Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,  (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),
hal. 17.
[17]  Ibid,  hal. 125.
[18]  Suparta Munzier, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Aniscol, 2003), hal. 2.
[19]  Imam As’Ari (1403916165). Dikutip pada tanggal 07 Juli 2018 pukul 21.20 WIB.
[20]  Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 106.
[21] Ibid., hal. 107.
[22] Ibid., hal. 107
[23] Ibid, hal. 8.
[24] H. Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan/Hadis Tarbawi, Membangun Kerangka pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hal. 124.
[25] Abdullah Ulwan, Opcit, hal. 144.
[26]  Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat, Op.Cit., hal. 109.
[27] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), Cet ke 10, hal. 116.
[28] VANOS, Journal Of Mechanical Engineering Education, Vol.1, No.2, Desember 2016, hal. 158.
[29]  Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat, Op.Cit., hal. 111.
[30] Ibid, hal. 109.
[31] Ibid, hal. 112.
[32] Ibid, hal. 113.
[33] H. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 383.
[34] VANOS, Journal Of Mechanical Engineering Education, Vol.1, No.2, Desember 2016, hal. 159.
[35]  Al Ghazali. t.th.  Ihya Ulumuddin, Semarang: Toha Putra, hal. 50-53.
[36] Ibid, hal. 133.
[37] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hal. 15
[38] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat, Op. Cipt., hal. 115.
[39] Ibid., hal. 120.
[40] Mustofa, Akhlak Tasawuf, Op.Cit., hal. 82.
[41] El-Qurtuby, Usman, Andi Subarkah, 2012, Al-Qur’an & Terjemah Tajwid, Bandung: Cordoba.
[42] El-Qurtuby, Usman, Andi Subarkah, 2012, Al-Qur’an & Terjemah Tajwid, Bandung: Cordoba.
[43] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat, Op. Cit., hal. 136-140.
[44] Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan, Op.Cit., hal 12.
[45] Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 78-79.
[46] WJS. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hlm. 850.
[47] M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hlm. 200.
[48] TIM Didaktik Metodik Kurikulum/KIP, Surabaya Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum, (Jakarta: Grafindo), hal. 159.
[49] Rosadi Ruslan, Etika Kehumasan, (Jakarta: Rineka, 2003), hlm. 5.
[50] Al-Ghazali, Khulugol Muslim, (Kuawit Dar Al-Bayan), hal. 36.
[51] Moh. Uzerusman. Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006, hlm. 6.
[52] Ibid, hal. 7.
[53] Ibid, hal. 8.
[54] Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 133.
[55] Ibid, hal. 9.
[56] Ibid, hal. 10.
[57] Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Semarang : Toha Putra, t.th),  hal. 55.

Comments

Popular posts from this blog

DASA DHARMA PRAMUKA 3 BAHASA {INDONESIA, INGGRIS, ARAB}

PANCASILA 3 BAHASA {INGGRIS, INDONESIA, ARAB}

TRI SATYA 3 BAHASA {INGGRIS, INDONESIA, ARAB}