Etika Guru dan Siswa Dalam Prespektif Hadist Nabi SAW (Hadist Pendidikan)
MAKALAH
ETIKA GURU DAN SISWA DALAM PRESPEKTIF HADIST NABI SAW
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah “HADIST PENDIDIKAN”
Dosen Pengampu : Asrowi, M.A.
DISUSUN OLEH :
Ardiningrum Dwi Septyas Putri
17211129
PERGURUAN
TINGGI LA TANSA MASHIRO
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM LA TANSA MASHIRO
Jalan Soekarno-Hatta Pasir Jati Telp. (0252)
207163/206794 Rangkasbitung 42317
E-mail : latansamashiro@gmail.com Website : siakadstai.latansamashiro.ac.id
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala Puji Syukur senantiasa tercurahkan kepada
Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan segala kesalahan dan kekurangannya, guna memenuhi tugas mata kuliah
“HADIST PENDIDIKAN”. Sholawat serta salam tidak lupa saya haturkan kepada
Baginda Nabi Muhammad SAW, dan semoga kita semua termasuk umatnya yang kelak
mendapatkan syafa’atnya kelak di hari qiamat. Aamiin…
Makalah ini telah saya susun semaksimal mungkin dan saya juga
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Meskipun saya sebagai penyusun berharap isi dari makalah ini bebas
dari kesalahan dan kekurangan. Namun, tentunya kami menyadari bahwa saya
hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan dan
kesempurnaan itu hanya milik Allah semata. Oleh karena itu, saya sebagai
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya laporan
ini diwaktu mendatang. Semoga Allah SWT memberkahi makalah ini, sehingga dapat
memberikan manfaat kepada kita semua. Aamiin...
Bogor, 24 April 2020
Pemakalah
ABSTRAK
Etika merupakan batasan-batasan terhadap tingkah laku manusia.
Segala bentuk perbuatannya berpegang teguh pada norma. Etika sangat penting
bagi setiap orang, karena jika tanpa adanya etika maka seseorang akan berlaku
sewenang-wenang tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan setelah peristiwa
tersebut. Etika guru sangat berperan dalam pembentukan tingkah laku siswanya di
sekolah dan di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui etika
guru dalam prespektif hadist Nabi SAW. Untuk mengetahui etika siswa dalam
prespektif hadist Nabi SAW. Untuk mengetahui pengaruh etika guru terhadap akhlak
siswa.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Etika merupakan batasan-batasan
terhadap tingkah laku manusia. Seseorang yang mengerti tentang etika akan
memilih dan memilah perbuatan-perbuatan yang baik atau buruk sesuai dengan
norma yang berlaku. Segala bentuk perbuatannya berpegang teguh pada norma.
Etika menurut filsafat ialah ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan mana
yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
diketahui oleh akal pikiran.[1] Etika
sangat penting bagi setiap orang, karena jika tanpa adanya etika maka seseorang
akan berlaku sewenang-wenang tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan
setelah peristiwa tersebut. Menurut para ahli, etika adalah aturan perilaku,
adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antar sesamanya dan menegaskan mana yang
benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik,
berasal dari kata Yunani ethos yang berarti norma-norma, nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik.[2]
Guru adalah pahlawan tanpa tanda
jasa. Banyak orang yang sukses berkat jasa seorang guru. Guru juga merupakan
orangtua di sekolah. Etika guru sangat berperan dalam pembentukan tingkah laku
siswanya di sekolah dan di lingkungannya. Oleh sebab itu bagaimana etika seorang
guru di sekolah akan di contoh oleh peserta didiknya, karena guru merupakan
suri tauladan yang baik. Menurut Faizal Djabidi, banyak guru mengajar terkadang
tidak memahami tentang manajemen dalam kegiatan belajar mengajar di kelas,
dalam mindsetnya hanya berkutat pada cara yang tepat untuk menyampaikan materi
sebagai tanggung jawab moral dalam mencerdaskan peserta didiknya.[3] Pada
kenyataannya masih ada anggapan di masyarakat bahwa siapapun dapat mengajar
tanpa merasa perlu untuk mendalami ilmu mengajar. Ada saja guru yang tidak
mengerti tentang etika mengajar. Tidak jarang terjadi kekerasan terhadap siswa,
jika guru merasa siswanya telah melakukan kesalahan. Seharusnya seorang guru
itu memiliki sifat-sifat yang baik seperti sabar, lemah lembut, penyayang dan
lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Thaha/20
ayat 44:
فَقُوْلَا لَهُ لَيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طهى :
44)
Artinya: “Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha : 44)[4]
Seorang guru
harus bertutur katalah dengan lemah lembut sesuai dengan firman Allah tersebut
agar siswanya menjadi sadar dan takut tanpa adanya tindak kekerasan terhadap
siswa yang melakukan kesalahan. Sehingga tingkah laku seorang guru haruslah
mencerminkan tingkah laku yang baik-baik agar siswanya pun mencontoh hal
tersebut. Karena adanya kode etik, maka seorang guru tidak bisa berbuat
sewenang-wenang terhadap siswanya. Ada sanksi yang diberikan apabila seorang
guru melanggar kode etik tersebut. Menjadi guru tidaklah mudah, karena seorang
guru memiliki kode etik. Kode etik itulah yang menjadi landasan agar menjadi
guru professional.
Menurut Ahmad
Amin bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa
suatu kehendak itu dilakukannya berulang-ulang tanpa adanya pemikiran.[5] Karena
pada hakekatnya, akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menghasilkan
perbuatan tanpa pemikiran (reflex). Oleh sebab itu segala perbuatan baik atau
buruk yang dilakukan oleh seseorang yang dalam hal ini adalah siswa, merupakan
wujud dari akhlaknya. Karena sering dilakukan akan menjadi kebiasaan. Maka
kebiasaan yang baik akan mengahasilkan akhlak yang baik. Sebaliknya, kebiasaan
yang buruk akan menghasilkan akhlak yang buruk pula.
Peserta didik
adalah anak, individu, yang tergolong dan tercatat sebagai siswa di dalam
satuan pendidikan.[6]
Dalam hal ini siswa di tingkat satuan pendidikan PAUD, TK, SD, SMP/MTS, maupun
SMA/MA. Menurut Ahmad Yusam Thobroni yang dikutip dalam jurnalnya, pelajar
adalah manusia yang mampu dididik dan membutuhkan pendidikan dalam rangka
mengaktualkan potensi yang ada pada dirinya serta untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagai label beribadah kepada
Allah. Oleh karena itu ilmu merupakan sesuatu yang sangat berharga, maka
seseorang yang menuntut ilmu sepantasnya membekali dirinya dengan dengan akhlak
yang mulia sebagai upaya persiapan diri demi keberhasilannya.[7]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
etika guru dalam prespektif hadist?
2.
Bagaimana
etika siswa dalam prespektif ibnu jama’ah?
3.
Apa
pengertian etika, guru, dan siswa?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Untuk
mendeskripsikan etika guru dalam prespektif hadist.
2.
Untuk
mendeskripsikan etika siswa dalam prespektif hadist.
3.
Supaya
dapat mengetahui pengertain etika, guru, dan siswa.
BAB 2
KAJIAN TEORI
A.
Etika Guru
Menurut Webster’s Sirct sebagaimana
yang dikutip oleh Mustofa mendefinisikan bahwa etika ialah ilmu tentang tingkah
laku manusia prinsip-prinsip yang disistimatisir tentang tindakan moral yang
betul. Ada orang yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu
memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku
manusia. Akan tetapi, etika menurut filsafat ialah ilmu yang menyelidiki, mana
yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia
sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Sedangkan akhlak ialah tabiat
atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam
jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan
perbuatanperbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan dianganangan
lagi.[8]
Karakteristik etika dalam Islam,
yaitu sebagai berikut:
1)
Etika
Islam mengajarkan dan menuntun manusia pada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
2)
Etika
Islam menetapkan bahwa sumber moral, ukuran baikburuknya perbuatan didasarkan
pada ajaran Allah SWT. (AlQur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
3)
Etika
Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat
manusia dalam segala waktu dan tempat.
4)
Dengan
rumus-rumus yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah (naluri) dan akal
pikiran manusia, etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
5)
Etika
Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia pada jenjang akhlak yang luhur dan
meluruskan perbuatan manusia di bawah pencaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju
keridaanNya, sehingga terselamatkanlah manusia dari pikiran dan perbuatan yang
keliru dan menyesatkan.[9]
Tugas guru
bukan hanya sekedar mengajarkan kepada siswa dari yang tidak bisa apapun
menjadi bisa. Akan tetapi seorang guru juga bertugas mendidik, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswanya. Seorang guru jangan
merasa acuh tak acuh kepada siswanya, karena sudah memberikan materi yang akan
dipelajari maka beliau merasa sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai guru. Guru dijadikan contoh oleh siswanya, maka seorang guru dapat
memberikan contoh teladan yang baik untuk siswanya.
Contoh teladan
adalah salah satu metode yang tidak diucapkan, tetapi dapat dilihat oleh
peserta didik sebagai sesuatu yang layak untuk ditiru; misalnya cara
berpakaian, bertutur kata, dan sikap sehari-hari seorang pendidik.[10] Seorang
guru harus bisa berpakaian yang baik dan sopan agar siswanya pun dapat
mencontoh hal baik tersebut. Kemudian harus bisa bertutur kata dengan lemah
lembut supaya siswanya pun tidak merasa takut apabila ingin bertanya suatu hal
yang tidak dimengerti. Selain contoh teladan adapula metode nasihat, dimana
metode ini merupakan perkataan seorang pendidik kepada peserta didiknya.
Pada prinsipnya
seorang pendidik merupakan pemberi nasihat, bertugas membentuk kepribadian
seseorang. Di dalam membentuk kepribadian itu unsur utamanya adalah pembentukan
jiwa. Di sini yang sangat diperlukan adalah transfer of value, pentransferan
nilai-nilai. Nilai-nilai yang baik yang belum dikenal oleh peserta didik
dimasukan ke dalam jiwanya, atau penguatan nilai-nilai yang baik juga bagian
dari ini.
Etika guru
terhadap siswa merupakan konsep kecintaan guru kepada siswanya. Rasa kecintaan
tersebut akan melahirkan kelembutan dan kebijaksanaan, sabar, murah hati,
kemudahan dalam mengajar serta semangat dan kekuatan, rela berkorban, perhatian
dan penghargaan, adil, senang membantu, keramahan dan kasih sayang.[11] Etika
guru terhadap siswa yaitu suatu adat kebiasaan atau akhlak seorang guru yang
memiliki tanggung jawab membentuk karakter anak didik yang masih memerlukan
bimbingan dan arahan.[12]
B.
Etika Siswa
Dalam menerangkan konsep murid, Imam
Al Ghazali menawarkan beberapa etika murid yang terbagi menjadi dua hal, yaitu
etika murid terhadap dirinya sendiri, dan etika murid terhadap guru. Bagi murid
atau pelajar, ada berbagai etika dan tugas-tugas siswa yang harus dipenuhi
menurut Imam Al Ghazali adalah sebagai berikut:
1)
Mengutamakan
kesucian jiwa dari akhlak yang tercela. Kerena ilmu pengetahuan itu adalah
kebaktian hati, shalat bathin, dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta’ala.
2)
Hendaknya
seorang murid mengurangi kesibukan dunianya dan hijrah dari negerinya sehingga
hatinya hanya terfokus untuk ilmu semata. Allah SWT tidak menjadikan dalam diri
seseorang dua hati dalam satu rongga.
3)
Seorang
murid jangan bersifat angkuh dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya.
Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala
nasihatnya, sebagaimana seorang sakit yang bodoh yakin kepada dokternya yang ahli
berpengalaman.
4)
Seorang
pelajar pada tingkat permulaan, hendaknya menjaga diri dari mendengarkan
perdebatan orang tentang ilmu pengetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu
ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena yang demikian itu meragukan
pikirannya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan membawanya kepada
berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya.
5)
Sorang
pelajar tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu pengetahuan yang baik dan tidak
suatu macampun dari berbagai macamya. Selain dengan pandangan dimana ia
memandang kepada maksud dan tujuan dari masing-masing ilmu itu. Kemudian jika
ia berumur panjang maka ia mempelajarinya secara mendalam. Jika tidak maka
diambilnya yang terpenting dan dikesampingkannya yang lain.
6)
Seorang
pelajar itu tidak memasuki suatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak.
tetapi memelihara tertib dan memulainya dengan yang lebih penting.
7)
Bahwa
tidak mencemplungkan diri ke dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum
menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun
dengan tertib.
8)
Seorang
murid itu hendaklah mengetahui kedudukan dan manfaat ilmu. Hendaknya seorang
murid memahami kemuliaan atau
kemanfaatan ilmu serta kekuatan dan kepercayaan dahlilnya.
9)
Tujuan
murid menuntut ilmu adalah menghiasi kebatinannya dan mempercantikannya dengan
sifat keutamaan dan mendekatkan diri
kepada Allah, mendaki untuk mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan
orang-orang yang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah).
10)
Harus
mengetahui kaitan ilmu pengetahuan dengan tujuannya. Supaya pengtahuan yang
tinggi dan dekat dengan jiwa itu, membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih
jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting. Yang penting
artinya mengandung kepentingan untukmu sendiri. Dan taka da yang penting bagimu
selain dari urusan mengenai dunia akhirat.[13]
C.
Hadist Etika Guru dan Siswa
تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ وَ اعْلَمُوْا بِهِ (في كتاب أدب العلم و
المتعلم)
“Belajarlah
kamu akan ilmu dan amalkanlah” (Adabu al-‘Alim wal Muta’allim)
Hadis di atas
menjelaskan bahwa ilmu itu adalah ruhnya kehidupan Islam dan tiangnya iman.
Barang siapa yang belajar dari hasil tersebut ia mengamalkannya kepada orang
lain, maka Allah akan mengajari sesuatu yang belum ia ketahui. Dari sini dapat
kita pahami bahwa mengapa Islam mewajibkan umatnya mencari ilmu karena Islam
hendaknya memuliakan umatnya dengan ilmu yang dimilikinya. Untuk itu, hendaklah
kita jangan merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki, dan jangan lupa
membatasi dalam mencari ilmu karena usia telah senja, selama hayat masih
dikandung badan hendaknya kita tidak berhenti untuk menuntut ilmu agar kita
mendapat keutamaan dan kemuliaan di dunia maupun akhirat kelak.
وَ عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّ يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ
عَزَّ وَ جَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا
لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيْحُهَا (رواه أبوا
داود بأسناده صحيح)
Artinya: ”Dari
Abu Hurairah berkata : Rasulallah SAW bersabda: barang siapa yang mempelajari
ilmu pengetahuan dari golongan ilmu yang semestinya untuk digunakan mencari
ridha Allah SWT, tetapi ia mempelajarinya itu tidak lain maksudnya kecuali
hendak memperoleh sesuatu tujuan dari keduniaan, maka orang yang demikian tadi
tidak akan dapat menemukan keharuman syurga pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud)[14]
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Objek dan Waktu Penelitian
Objek
penelitian merupakan sesuatu yang menjadi perhatian dalam sebuah penelitian
karena objek penelitian merupakan sasaran yang hendak dicapai untuk mendapatkan
jawaban maupun solusi dari permasalahan yang terjadi.
Objek
penelitian ini adalah pelaksanaan pengambilan dan pengumpulan data dari
beberapa jurnal dan buku hadist dan hadist pendidikan. Pembuatan makalah ini
dilakukan di Bogor, Jawa Barat.
Waktu yang dibutuhkan
dalam penelitian ini mulai dari 5 April 2020 hingga 25 April 2020, kurang lebih
2 minggu.
B.
Metodologi Penelitian
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode library lesson, yaitu pengambilan
dan pengumpulan data dari referensi buku atau jurnal, dalam metode ini
mendeskripsikan etika guru dan siswa dalam prespektif hadist nabi.
C.
Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data diambil dari
beberapa buku hadist pendidikan dan beberpa jurnal.
D.
Data dan Sumber Data
1.
Data
Primer
Pengambilan data primer diambil dari buku inti hadist pendidikan.
2.
Data
Sekunder
Pengambilan data sekunder diambil dari beberapa jurnal yang saya
ambil.
E.
Teknik Analisis Data
Analisis ini
dilakukan dengan mengembangkan hasil data yang sudah didapat dari beberapa buku
hadist pendidikan dan beberapa jurnal. Hasil penelitian ada beberapa tahap yang
akan dianalisis, Antara lain:
1.
Menjelaskan
latar belakang masalah hadist ini
2.
Mendeskripsikan
bagaimana etika guru dalam prespektif hadist
3.
Mendeskripsikan
bagaimana etika siswa dalam prespektif hadist
4.
Menjelaskan
pengertian dari etika, guru, dan siswa
5.
Membuat
kesimpulan yang akurat tentang hadist etika guru dan siswa dalam prespektif
hadist
BAB 4
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A.
Etika Guru dalam Prespektif Hadist
1.
Pengertian
Etika Guru
Menurut Webster’s Sirct sebagaimana yang dikutip oleh Mustofa
mendefinisikan bahwa etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia
prinsip-prinsip yang disistimatisir tentang tindakan moral yang betul. Ada
orang yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang
ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Akan
tetapi, etika menurut filsafat ialah ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan
mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
diketahui oleh akal pikiran. Sedangkan akhlak ialah tabiat atau sifat
seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut
benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatanperbuatan dengan
mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan dianganangan lagi.[15]
Karakteristik etika dalam Islam,
yaitu sebagai berikut:
6)
Etika
Islam mengajarkan dan menuntun manusia pada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
7)
Etika
Islam menetapkan bahwa sumber moral, ukuran baikburuknya perbuatan didasarkan
pada ajaran Allah SWT. (AlQur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
8)
Etika
Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat
manusia dalam segala waktu dan tempat.
9)
Dengan
rumus-rumus yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah (naluri) dan akal
pikiran manusia, etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
10)
Etika
Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia pada jenjang akhlak yang luhur
dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pencaran sinar petunjuk Allah SWT.
menuju keridaanNya, sehingga terselamatkanlah manusia dari pikiran dan perbuatan
yang keliru dan menyesatkan.[16]
Tugas guru
bukan hanya sekedar mengajarkan kepada siswa dari yang tidak bisa apapun
menjadi bisa. Akan tetapi seorang guru juga bertugas mendidik, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswanya. Seorang guru jangan
merasa acuh tak acuh kepada siswanya, karena sudah memberikan materi yang akan
dipelajari maka beliau merasa sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai guru. Guru dijadikan contoh oleh siswanya, maka seorang guru dapat
memberikan contoh teladan yang baik untuk siswanya.
Contoh teladan
adalah salah satu metode yang tidak diucapkan, tetapi dapat dilihat oleh
peserta didik sebagai sesuatu yang layak untuk ditiru; misalnya cara
berpakaian, bertutur kata, dan sikap sehari-hari seorang pendidik.[17] Seorang
guru harus bisa berpakaian yang baik dan sopan agar siswanya pun dapat
mencontoh hal baik tersebut. Kemudian harus bisa bertutur kata dengan lemah
lembut supaya siswanya pun tidak merasa takut apabila ingin bertanya suatu hal
yang tidak dimengerti. Selain contoh teladan adapula metode nasihat, dimana
metode ini merupakan perkataan seorang pendidik kepada peserta didiknya.
Pada prinsipnya
seorang pendidik merupakan pemberi nasihat, bertugas membentuk kepribadian
seseorang. Di dalam membentuk kepribadian itu unsur utamanya adalah pembentukan
jiwa. Di sini yang sangat diperlukan adalah transfer of value, pentransferan
nilai-nilai. Nilai-nilai yang baik yang belum dikenal oleh peserta didik
dimasukan ke dalam jiwanya, atau penguatan nilai-nilai yang baik juga bagian
dari ini.
Etika guru
terhadap siswa merupakan konsep kecintaan guru kepada siswanya. Rasa kecintaan
tersebut akan melahirkan kelembutan dan kebijaksanaan, sabar, murah hati,
kemudahan dalam mengajar serta semangat dan kekuatan, rela berkorban, perhatian
dan penghargaan, adil, senang membantu, keramahan dan kasih sayang.[18] Etika
guru terhadap siswa yaitu suatu adat kebiasaan atau akhlak seorang guru yang
memiliki tanggung jawab membentuk karakter anak didik yang masih memerlukan
bimbingan dan arahan.[19]
2.
Tanggung
Jawab Pendidik
Tanggung jawab
ini merupakan kewajiban menanggung, memelihara dan memberi latihan berupa
pengajaran, mengenai akhlak dan kecerdaasan pikiran. Seorang pendidik memiliki
tanggung jawab atas peserta didiknya bagaimana mengarahkannya menuju
kedewasaan, baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi
kemanusiaan yang diemban sebagai seorang manusia. Berikut ini tanggung jawab
pendidik:
a.
Tanggung
Jawab Ilmiah
Sebagai seorang
pendidik, terutama pendidik formal (guru), memiliki tanggung jawab keilmuan,
yakni menyampaikan ilmunya kepada peserta didik. Dalam hal ini pendidik tidak
boleh kikir untuk memberikan ilmu apalagi menyembunyikan ilmu. Di samping itu
juga dia harus selalu menambah ilmunya, tidak boleh berhenti memberi dan
menerima ilmu. Di dalam menyampaikan ilmu ini ada jadwal yang telah ditetapkan.[20]
b.
Tanggung
Jawab Moral
Salah satu tugas pendidik ialah membentuk manusia berakhlakul
karimah, memberikan dan menerapkan nilainilai baik kepada peserta didiknya.[21]
c.
Tanggung
Jawab Professional
Pendidik yang professional adalah pendidik yang berpikir, bekerja
dan berprilaku berdasarkan prinsip dan aturan profesionalisme.[22]
3.
Sifat-sifat
Pendidik
Seorang
pendidik bertugas untuk menciptakan suasana belajar yang dapat menggerakkan
peserta didik untuk berprilaku atau beradab sesuai dengan moral-moral, tata
susila dan sopan santun yang berlaku dalam masyarakat.[23]
Guru dalam
melaksanakan tugas tersebut, penting memiliki etika, dalam kajian ini akan di
uraikan beberapa etika yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan tugasnya
berdasarkan hadis-hadis Rasulullah Saw yaitu: Ikhlas, takwa, berilmu, memiliki
ketabahan dan menyadari tanggung jawab.[24]
a.
Takwa
وَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا
مِمَّ يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إلَّا
لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيْحُهَا (رواه أبوا داود بأسناده صحيح)
Artinya: ”Dari Abu Hurairah berkata : Rasulallah SAW bersabda:
barang siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan dari golongan ilmu yang
semestinya untuk digunakan mencari ridha Allah SWT, tetapi ia mempelajarinya
itu tidak lain maksudnya kecuali hendak memperoleh sesuatu tujuan dari
keduniaan, maka orang yang demikian tadi tidak akan dapat menemukan keharuman
syurga pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud)
Pada hadis diatas dijelaskan bahwa berterimanya setiap amal di sisi
Allah disyaratkan kepada ikhlas , oleh karena itu setiap pendidik yang
menginginkan tugas mulianya itu diterima disisi Allah, mestilah ia melaksanakan
tugasnya dengan ikhlas. Dan dijelaskan bahwa
berpahalanya suatu amal tergantung kepada keiklasan dalam melakukannya,
oleh karena itu seorang yang berprofesi sebagai pendidik dan guru disamping
mendapatkan imbalan materi dunia, janganlah mengabaikan pahala akhirat yang
lebih baik dan abadi disisi Allah dengan berniat ikhlas dalam melaksanakan
profesinya.
Hadis yang senada dengan ikhlas ini dijelaskan bahwa, Allah dalam
menilai amal seseorang tidak ada kaitannya dengan fostur tubuh dan rupanya,
tetapi Allah menilai amal itu yang pertama dari keikhlasan hati dan ketekutan
seseorang dalam menjalankan tugasnya.Kedua dari sisi pelaksanaan lahiriyahnya,
sesuai dengan ketentuan, maka seorang pendidik dalam melaksanakan tugas
tugasnya, disamping dengan niat yang ikhlas, harus melaksanakan tugas sesuai
dengan amanah yang ditetapkan kepadanya.
Pendidik yang ikhlas hendaklah berniat semata-mata untuk Allah
dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat,
pengawasan atau hukuman. Buah yang dipetiknya adalah, ia akan melaksanakan
metode pendidikan, mengawasi anak secara edukatif terus-menerus, di samping
mendapat pahala dan ridha Allah.[25]
Ikhlas dalam perkataan adalah sebagian dari asas iman dan keharusan
Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas.
Perintah untuk ikhlas tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah
[98]: 5)
Sang guru, memulai niatnya dengan ikhlas, agar
semuanya menjadi tampak menarik dan indah. Ikhlas bukanlah bermakna gratis,
yaitu seorang yang telah mengajar dari pagi sampai sore, lalu dia tidak
mendapat imbalan berupa gaji atau honor, gambaran seperti itulah yang dimaksud
dengan ikhlas, tentu ini persepsi yang keliru. Seseorang tidak salah menerima
imbalan yang wajar dan bahkan itu sesuatu yang wajar normal, tetapi yang salah
itu mengedepankan dalam pikiran dan perilaku tentang uang. Belum lagi bekerja
atau sedang bekerja yang selalu terbayang dan memotivasi dirinya pada materi.
Seorang guru teladan, tidak demikian pikirannya, yang diutamakannya ialah kerja
dan semangat bekerja, dan setelah dia bekerja, maka dia layak memperoleh
imbalan.
b. Cinta
Cinta adalah penggerak utama kreativitas
manusia dalam hidup. Pernah kita saksikan seorang ayah berhujan dan berpanas
bekerja di sawah atau di lading dengan dorongan cintanya kepada anak dan
istrinya guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan dorongan cinta pula
seorang rela berkorban demi yang dicintainya. Seorang guru mestilah mencintai
muridnya, guru menjadikan muridnya seperti anak kandungnya sendiri. Seorang
guru yang mencintai muridnya akan mengharapkan bahwa sang murid akan sukses.
Cinta sang gurulah yang akan melahirkan semangat mengajar guru, kelembutan
hati, kasih sayang, motivator, kerelaan berkorban, mengedepankan kesuksesan
murid. Dari cinta sang guru inilah lahirnya berbagai sifat dan sikap baik
lainnya. Dari cinta sang guru inilah lahir kepedulian.[26]
Rasulallah SAW mencontohkan hal ini dengan
menyatakan posisinya ditengah-tengah para sahabat:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : وَ الَّذِيْ
نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حّتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
ؤَالِدِهِ ؤَ ؤَلَدِهِ (رؤاه البخارى)
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulallah
SAW bersabda; demi jiwaku yang berada digenggamannya tidak beriman (tidak
sempurna iman) seseorang diantara kalian sebelum diriku lebih dicintai olehnya
dari kecintaannya kepada anaknya dan orangtuanya”. (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadis di atas guru hendaklah
mempunyai sifat kasih sayang kepada anak didiknya sebagaimana ia mencintai
anaknya sendiri. Tugas guru bukan sekedar mengajar tapi lebih dari itu guru
harus menganggap peserta didiknya seperti anaknya sendiri sehingga anak merasa
dicintai dan diperhatikan. Hal ini bisa dipastikan interaksi edukatif dalam
proses belajar mengajar akan mudah dilaksanakan sehingga tujuan pendidikan akan
berhasil.
c. Teladan
“Ulama adalah pewaris Nabi.” (Riwayat an-Najjar), Nabi menjadi panutan,
contoh teladan, maka guru juga menjadi panutan. Keteladanan memiliki posisi
penting dalam dunia pendidikan. Seorang peserta didik termotivasi berakhlak
baik, karena dia melihat contoh teladan yang baik pula. Keteladanan adalah
“guru” yang diam. Ia akan memasuki relung hati sang murid, dan dihadapan
matanya ada sosok yang diidolakannya. Apabila keteladanan musnah, maka
sesungguhnya bangsa dan kaum itu sedang berada dalam krisis yang luar biasa.
Guru-guru sebagai pendidik, dengan wibawanya
dalam pergaulan membawa murid sebagai anak didik kearah kedewasaan.
Memanfaatkan pergaulan sehari-hari dalam pendidikan merupakan cara yang paling
baik dan efektif dalam pembentukan pribadi dan dengan cara ini pula maka
hilanglah jurang pemisah antara guru dan anak didik.[27]
Hal ini berdasarkan hadist Nabi SAW:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أجْرُهَا وَ أجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئةً كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شِيْئٌ (رواه مسلم)
Artinya: “Barang siapa melakukan sesuatu
perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala orang yang menirunya setelah
dia, dengan tidak dikurangi pahalanya sedikitpun. Dan barang siapa yang
melakukan sesuatu perbuatan yang jelek, ia akan menanggung dosanya dan dosa
orangorang yang menirukannya, dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun”. (HR.
Muslim)
Berdasarkan hadis di atas bahwa sejatinya guru
sebagai penunjuk jalan yang cerah bagi peserta didiknya, dan guru sebagai model
keteladanan yang terus menerus menjadi panutan bagi anak didiknya, sehingga apa
yang dilakukan oleh gurunya maka peserta didik pun akan mengikutinya.
Jelaslah bahwa nilai-nilai yang baik akan
menjadi tabungan pahala baginya, bahkan bila peserta didik meniru perbuatan
baik tersebut akan mendapatkan pahala orang yang menirunya, dengan tanpa
dikurangi pahala sedikitpun. Dan kelanjutan dari hadis tersebut guru harus
mencegah peserta didiknya dari perbuatan yang tercela, dan guru harus menjauhi
dari perbuatan-perbuatan dosa sehingga kepribadian guru akan terjaga sampai
kapanpun.[28]
d. Objektif
Membenarkan yang benar dan menyalahkan yang
salah, itulah gambaran dari sifat dan sikap objektif. Sikap ini adalah sikap
yang berasal dari sikap jujur dan benar. Di sini akan dilihat aplikasinya tidak
pilih kasih.[29]
Adapun hadis yang berkenaan dengan masalah ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad:
عَنْ
أَبِى ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنِى خَلِيلِى صلى الله عليه وسلم بِسَبْعٍ أَمَرَنِى
بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِى أَنْ أَنْظُرَ إِلَى
مَنْ هُوَ دُونِى وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِى وَأَمَرَنِى أَنْ أَصِلَ
الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَسْأَلَ أَحَداً شَيْئاً
وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ
أَخَافَ فِى اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ وَأَمَرَنِى أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لاَ
حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ
Dari Abu Dzaar, ia berkata, “Kekasihku Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan tujuh hal padaku: mencintai orang miskin
dan dekat dengan mereka, beliau memerintah agar melihat pada orang di bawahku
(dalam hal harta) dan janganlah lihat pada orang yang berada di atasku, beliau
memerintahkan padaku untuk menyambung tali silaturahim (hubungan kerabat) walau
kerabat tersebut bersikap kasar, beliau memerintahkan padaku agar tidak meminta-minta
pada seorang pun, beliau memerintahkan untuk mengatakan yang benar walau itu
pahit, beliau memerintahkan padaku agar tidak takut terhadap celaan saat
berdakwa di jalan Allah, beliau memerintahkan agar memperbanyak ucapan “laa
hawla wa laa quwwata illa billah” (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan Allah), karena kalimat tersebut termasuk simpanan di bawah ‘Arsy.”
(HR. Ahmad 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih,
namun sanad hadits ini hasan karena adanya Salaam Abul Mundzir)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin memberikan contoh mengenai hadits “Berkata yang benar walaupun pahit”
yaitu dalam hal orang awam yang biasa berkomentar sinis atau tidak suka
terhadap ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
membawakan tiga contoh ketika menjelaskan hadits dalam Riyadhus Sholihin karya
Imam Nawawi.
e. Emosi stabil
Praktiknya dalam kehidupan sehari-hari guru
dapat mengendalikan dirinya. Dapat dimaklumi bahwa tingkah laku peserta didik
bermacam-macam, di antara mereka ada saja yang menjengkelkan guru. Di sinilah
ditutut kematangan emosi dan kestabilannya.[30]
f. Tawadhu’
Tawadhu’ adalah sifat rendah hati, lawannya sombong. Allah mencintai orang
yang tawadhu’ dan membenci kesombongan. Guru yang rendah hati adalah guru yang
rela menerima kebenaran dari mana pun datangnya, walaupun itu dari muridnya,
mungkin ada pendapat, saran dan pemikiran muridnya yang cemerlang dan bagus,
maka tanpa merasa kehilangan wibawa sang guru dengan ikhlas menerimanya. Begitu
juga ketika mengajar mungkin ada kebenaran ilmu yang disampaikan muridnya, maka
sang guru tidak merasa malu untuk mengakuinya.[31]
g. Qanaah (Tidak Materialistis)
Sikap yang diambil oleh guru dalam hal ini
tidak menggadaikan prinsip akhlakul karimahnya. Sang guru harus tegar
mengedepankan prinsip hidup qanaah. Banyak cara yang dapat ditempuh oleh guru
yang materialistik untuk memperoleh penghasilan yang tidak halal, tetapi itu
tidak dilakukannya. Prinsip seperti inilah yang disebut dengan prinsip qanaah[32]
h. Berilmu
Perkataan ‘ilm dilihat dari sudut kebahasan
bermakna penjelasan. Dipandang dari akar katanya artinya kejelasan. Semua ilmu
yang disandarkan pada manusia mengandung arti kejelasan. Menurut Alqur’an ilmu
adalah suatu keistimewaan pada manusia yang menyebabkan manusia unggul terhadap
makhluk-makhluk lain.[33] Allah
SWT menjanjikan dalam firmannya yaitu al-Qur’an bahwa orangorang yang berilmu
akan diangkat derajatnya di sisi Allah. Keteranganketerangan dalam hadis Nabi
pun sangat banyak, diantaranya sebagai berikut:
وَ رُوِيَ أَبُوْ أُمَامَة قَالَ : سُئشلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهش وَ سَلَّمَ عَنْ رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا عَالِمٌ وَالْأخَرُ عَابِدٌ
فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمُ
كَفَضْلِيْ عَلى أدْنَامِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَ مَلَائِكَتُهُ وَ
أَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِيْنَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِيْ جُحْرِهَا وَ
حَتَّى الحُوْتَ لِيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسَ الْخَيْرَ (رواه الترمذي)
Artinya: “Diriwayatkan oleh abu
Umamah dia berkata Rasulallah ditanya tentang dua orang
laki-laki, yaitu ilmuan dan hamba biasa, Rasul berkata: keutamaan ilmuan
seperti di atas keutamaanku di atas kamu semua, dan sesungguhnya Allah ‘azza
wajalla dan malaikat serta semua ahli langit dan bumi termasuk semut di dalam
lubang dan ikan di dalam laut, mereka semua mendoakan ilmuan dengan do’a yang
baik”. (HR. at-Turmudzi)
Hadis di atas menjelaskan tentang keutamaan
orang yang berilmu, guru sebagai orang dewasa dan berilmu harus menunjukkan dan
mengarahkan peserta didiknya bahwa tujuan mencari ilmu tidak lain semata-mata
untuk mencari ridha Allah, bukan mencari
kedudukan dan pangkat. Anak didik senantiasa diarahkan dan dibimbing agar tidak
salah dalam menentukan jalannya, guru berkewajiban mengembangan potensi yang
ada dalam peserta didik agar ia mampu pengoptimalkan potensi yang ada dalam
dirinya.
Islam memandang tinggi terhadap ilmu dan
ilmuan, seorang ilmuan yang mampu melahirkan generasinya menjadi generasi yang
cerdas dan berintelektual dan Allah SWT akan mengangkat orang yang berilmu ke
derajat yang sangat tinggi berdasarkan firmannya yang berbunyi:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ
فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu,
“Berilah kelapangan didalam majelis-majlis,” maka lapangkanlah untukmu. Dan
apabila dikatakan, “Berdirilan kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah
meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan dengan beberapa
derajat yang tinggi. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Mujadalah: 11)[34]
B.
Etika Siswa dalam Prespektif Ibnu Jama’ah
Dalam menerangkan konsep murid, Imam
Al Ghazali menawarkan beberapa etika murid yang terbagi menjadi dua hal, yaitu
etika murid terhadap dirinya sendiri, dan etika murid terhadap guru. Bagi murid
atau pelajar, ada berbagai etika dan tugas-tugas siswa yang harus dipenuhi
menurut Imam Al Ghazali adalah sebagai berikut:
11)
Mengutamakan
kesucian jiwa dari akhlak yang tercela. Kerena ilmu pengetahuan itu adalah
kebaktian hati, shalat bathin, dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta’ala.
12)
Hendaknya
seorang murid mengurangi kesibukan dunianya dan hijrah dari negerinya sehingga
hatinya hanya terfokus untuk ilmu semata. Allah SWT tidak menjadikan dalam diri
seseorang dua hati dalam satu rongga.
13)
Seorang
murid jangan bersifat angkuh dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya.
Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasihatnya,
sebagaimana seorang sakit yang bodoh
yakin kepada dokternya yang ahli berpengalaman.
14)
Seorang
pelajar pada tingkat permulaan, hendaknya menjaga diri dari mendengarkan
perdebatan orang tentang ilmu pengetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu
ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena yang demikian itu meragukan
pikirannya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan membawanya kepada
berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya.
15)
Sorang
pelajar tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu pengetahuan yang baik dan tidak
suatu macampun dari berbagai macamya. Selain dengan pandangan dimana ia
memandang kepada maksud dan tujuan dari masing-masing ilmu itu. Kemudian jika
ia berumur panjang maka ia mempelajarinya secara mendalam. Jika tidak maka
diambilnya yang terpenting dan dikesampingkannya yang lain.
16)
Seorang
pelajar itu tidak memasuki suatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak.
tetapi memelihara tertib dan memulainya dengan yang lebih penting.
17)
Bahwa
tidak mencemplungkan diri ke dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum
menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun
dengan tertib.
18)
Seorang
murid itu hendaklah mengetahui kedudukan dan manfaat ilmu. Hendaknya seorang
murid memahami kemuliaan atau kemanfaatan
ilmu serta kekuatan dan kepercayaan dahlilnya.
19)
Tujuan
murid menuntut ilmu adalah menghiasi kebatinannya dan mempercantikannya dengan
sifat keutamaan dan mendekatkan diri
kepada Allah, mendaki untuk mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan orang-orang
yang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah).
Harus
mengetahui kaitan ilmu pengetahuan dengan tujuannya. Supaya pengtahuan yang
tinggi dan dekat dengan jiwa itu, membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih
jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting. Yang penting
artinya mengandung kepentingan untukmu sendiri. Dan taka da yang penting bagimu
selain dari urusan mengenai dunia akhirat.[35]
1.
Pengertian
Akhlak Siswa
Menurut Al-Ghazali akhlak adalah sifat yang tertanam pada jiwa yang
menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[36] Maksud
perbuatan yang dilahirkan dengan mudah tanpa pikir lagi disini bukan berarti
bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak dikehendaki.
Jadi perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu benar-benar sudah merupakan “azimah”,
yakni kemauan yang kuat tentang sesuatu perbuatan, oleh karenanya jelas
perbuatan itu memang sengaja dikehendaki adanya. Hanya saja karena keadaan yang
demikian itu dilakukan secara kontinyu, sehingga sudah menjadi adat atau
kebiasaan untuk melakukannya, dan karenanya timbullah perbuatan itu dengan
mudah tanpa dipikir lagi.[37]
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu (Bab 1 Pasal 1, ayat 4).[38] Dengan
demikian, akhlak siswa merupakan segala perbuatan atau tingkah laku yang
dilakukan dengan refleks (spontan) oleh siswa dan dilakukan secara terus
menerus sehingga menjadi kebiasaan dari diri siswa tersebut.
Selain akhlak yang baik yang harus dimiliki siswa, adapula kode
etik yang harus diikuti oleh seorang siswa diantaranya:
a.
Membersihkan
hati dari kotoran.
b.
Meluruskan
niat.
c.
Menghargai
waktu.
d.
Menjaga
kesederhanaan makan dan pakaian.
e.
Membuat
jadwal kegiatan yang ketat.
f.
Menghindari
makan terlalu banyak.
g.
Bersifat
wara’, mengurangi mengonsumsi makanan yang menyebabkan kebodohan dan kelemahan.
h.
Meminimkan
waktu tidur, tetapi tidak mengganggu kesehatan.
i.
Membatasi
pergaulan, hanya dengan orang yang bisa bermanfaat bagi belajar.[39]
Setiap perilaku manusia didasarkan atas kehendak. Apa yang telah
dilakukan oleh manusia timbul dari kejiwaan. Walaupun pancaindera kesulitan
melihat pada dasar namun dapat dilihat dari wujud kelakuan. Maka setiap
kelakuan pasti bersumber dari kejiwaan. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi
bentuk akhlak, diantaranya:
a.
Insting
Menurut James, insting ialah suatu alat yang dapat menimbulkan
perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir lebih dahulu kearah
tujuan itu dan tiada dengan didahului latihan perbuatan itu.
b.
Pola
Dasar Bawaan (Turunan)
Pada awal perkembangan kejiwaan primitif, bahwa ada pendapat yang
mengatakan kelahiran manusia itu sama. Dan yang membedakan adalah faktor
pendidikan. Tetapi pendapat baru mengatakan tidak ada dua orang yang ke luar di
alam keujudan sama dalam tubuh, akal dari akhlaknya. Ada teori yang
mengemukakan masalah turunan (bawaan), yaitu: Turunan (Pembawaan) dan
Sifat-sifat bangsa.
c.
Lingkungan
Lingkungan ialah suatu yang melingkungi tubuh yang hidup.
Lingkungan tumbuh-tumbuhan oleh adanya tanah dan udaranya, lingkungan manusia
ialah apa yang melingkunginya dari negeri, lautan, sungai, udara dan bangsa.
Lingkungan ada dua macam yaitu: Lingkungan Alam dan Lingkungan Pergaulan.
d.
Kebiasaan
Kebiasaan
ialah perbuatan yang diulang-ulang terus sehingga mudah dikerjakan bagi
seseorang. Seperti kebiasaan berjalan, berpakaian, berbicara, berpidato, mengajar,
dan lain sebagainya. Orang berbuat baik atau buruk karena dua faktor dari
kebiasaan yaitu: kesukaan hati terhadap suatu pekerjaan; menerima kesukaan itu,
yang akhirnya menampikkan perbuatan. Dan diulang-ulang terus menerus.
e.
Kehendak
Suatu
perbuatan ada yang berdasar atas kehendak dan bukan hasil kehendak. Contoh yang
berdasarkan kehendak adalah menulis, membaca, mengarang atau berpidato dan lain
sebagainya. Adapun contoh yang berdasarkan bukan kehendak adalah detik hati,
bernafas dan gerak mata.
f.
Pendidikan
Dunia
pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlak
seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan agar siswa memahaminya dan dapat
melakukan suatu perubahan pada dirinya. Semula anak belum tahu perhitungan,
setelah memasuki dunia pendidikan sedikit banyak mengetahui. Kemudian dengan
bekal ilmu tersebut, mereka memiliki wawasan luas dan diterapkan ke hal tingkah
laku ekonomi. Begitu pula apabila, siswa diberi pelajaran “Akhlak”, maka
memberitahu bagaimana seharusnya manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap
sesamanya dan Penciptanya (Tuhan).[40]
Akhlak
terbagi menjadi tiga yaitu: Akhlak kepada Allah dan Rasul, kepada sesama manusia,
dan kepada alam semesta.
a.
Akhlak
Kepada Allah dan Rasul
Akhlak
kepada Allah, adalah selalu merasa kehadiran Allah dalam kehidupan manusia.
Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 186 yang menerangkan bahwa Allah
berada dekat dengan hamba-hamba-Nya dan akan mengabulkan do’a orang-orang yang
berdo’a.
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. al-Baqarah [2]:
186).[41]
b.
Akhlak Kepada Manusia
1)
Akhlak Kepada Diri Sendiri
Akhlak kepada diri memenuhi kewajiban dan hak diri,
ditunaikan kewajiban dan dimanfaatkan atau diambil hak. Seluruh anggota tubuh
manusia mempunyai hak dan harus ditunaikan. Disinilah terkait dengan
pemeliharaan diri agar sehat jasmani dan rohani menunaikan kebutuhan diri, baik
yang bersifat biologis maupun spiritual.
2)
Akhlak Kepada Keluarga
Dimulai dari akhlak kepada orang tua, berbuat baik
seperti yang tertera pada surah Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”. (QS. Luqman [31]: 14)[42]
3)
Akhlak Kepada Tetangga
Rasul sangat memberi perhatian tentang masalah yang
berkenaan dengan “jiran” atau tetangga, sehingga begitu tinggi perhatian yang
diajarkan Nabi untuk menghormati dan menyayangi tetangga.
4)
Akhlak Kepada Masyarakat
Luas Akhlak terhadap masyarakat menyangkut
bagaimana menjalin ukhuwah, menghindarkan diri dari perpecahan serta saling
bermusuhan.
c.
Akhlak Kepada Alam Semesta
Akhlak terhadap alam semesta, terkait erat dengan fungsi
manusia sebagai khalifah Allah di Bumi. Fungsi kekhalifahan manusia itu terkait
dengan eksploitasi kekayaan alam semesta.[43]
2.
Karakteristik Siswa
Setiap individu memiliki ciri, sifat bawaan (heredity),
dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Ahli
psikologi berpendapat bahwa kepribadian dibentuk oleh perpaduan faktor
pembawaan dan lingkungan. Karakteristik bawaan, baik yang bersifat biologis
maupun psikologis, dimiliki sejak lahir. Apa yang dipikirkan, dikerjakan atau
dirasakan seseorang, atau merupakan hasil perpaduan antara apa yang ada di
antara faktor-faktor biologis yang diwariskan dan pengaruh lingkungan sekitarnya.
Tanpa memedulikan umur seorang anak, karakteristik pribadi yang dibawa ke
sekolah terbentuk dari pengaruh lingkungan. Hal itu berpengaruh cukup besar
terhadap keberhasilan atau kegagalannya di sekolah dan pada masamasa
perkembangan selanjutnya. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan
faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap (ajeg), sedangkan karakteristik
yang berkaitan dengan faktor psikologis lebih mudah berubah karena dipengaruhi
oleh pengalaman dan lingkungan.[44]
Siswa Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah
pada umumnya adalah siswa usia remaja. Remaja sebagai periode tertentu dari
kehidupan manusia merupakan suatu konsep yang relatif baru dalam kajian
psikologi. Menurut Abin Syamsuddin Makmun, perilaku dan pribadi siswa MTs atau
SMP sudah memasuki masa remaja. Hal ini dijelaskan lebih lanjut bahwa rentangan
masa remaja itu berlangsung dari sekitar 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut
umur kalender kelahiran seseorang. Masa remaja terbagi menjadi dua, yaitu masa
remaja awal (usia 11-13 tahun sampai 14-15 tahun) dan masa remaja akhir (usia
14-16 tahun sampai 18-20 tahun).[45] Dengan
demikian siswa MTs atau SMP yang dijadikan subyek penelitian penulis termasuk dalam
golongan masa remaja awal. Karena pada masa remaja ini seorang siswa akan lebih
senang mencontoh dan mengikuti zaman. Maka dari itu seorang guru harus bisa
menjadi pembimbing yang baik supaya bisa mengarahkan siswanya berprilaku yang
baik atau memiliki akhlak mahmudah.
Dalam buku-buku psikologi perkembangan, berdasarkan
usianya siswa MTs atau SMP dimasukkan ke dalam kategori remaja awal, yaitu
dengan usia berkisar antara 12-15 tahun. Menurut Sri Rumini, dkk, karakteristik
remaja awal diantaranya:
a.
Keadaan Perasaan dan Emosi
Keadaan perasaan dan emosinya sangat peka
sehingga tidak stabil. Staniey Hall menyebutkan: “storm and stress” atau badai
dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosi. Remaja awal dilanda pergolakan
sehingga selalu mengalami perubahan dalam perbuatannya.
b.
Keadaan Mental
Kemampuan mental khususnya kemampuan
berpikirnya mulai sempuna dan kritis (dapat melakukan abstraksi). Ia mulai
menolak hal-hal yang kurang dimengerti. Maka sering terjadi pertentangan dengan
orang tua, guru, maupun orang dewasa lainnya.
c.
Keadaan Kemauan
Kemauan dan keinginan mengetahui berbagai hal
dengan jalan mencoba segala hal yang dilakukan orang lain.
d.
Keadaan Moral
Pada awal remaja, dorongan seks sudah
cenderung memperoleh pemuasan sehingga mulai berani menunjukkan sikap-sikap
agar menarik perhatian.
C. Pengertia dari Etika, Guru, dan Siswa
1.
Pengertian Eika
Etika berasal dari kata etik yang berarti aturan, tata
susila, sikap atau akhlak. Menurut kamus besar bahasa Indonesia etika merupakan
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.[46]
Menurut M. Sastrap Radja, etika merupakan bagian dari
filsafat yang mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk).[47] Pendapat
lain mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan
dan keburukan di dalam hidup manusia umumnya, teristimewa yang mengalami gerak
gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai
mengenai tujuaannya yang dapat merupakan perbuatan.[48]
Dalam buku etika kehumasan, bahwa etika digunakan untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Jadi etika itu studi tentang benar
atau salah dalam tingkah laku. maka tugasnya mencari ukuran baik buruknya
tingkah laku manusia.[49] Kemudian
Rosadi mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, bahwa etika adalah suatu ilmu yang
mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya.
Sedang menurut Sonny Kerap etika itu ada bersif'at umum dan ada bersifat
khusus. Etika umum adalah kondisi dasar bagaimana manusia bertindak etis dalam
mengambil keputusan. Etika khusus adalah
penerapan prinsip moral, dalam pengambil keputusan dan bertindak dalam
kehidupan sehari-hari. Etika khusus ini mencakup etika individual (perorangan),
dan etika sosial, berkaitan dengan kewajiban, sikap, perilaku sebagai anggota
masyarakat, yang berkaitan dengan sopan santun, tata krama, tolong menolong dan
lain-lain.
Etika yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah ilmu yang
membahas tentang sikap atau akhlak seseorang baik ketika berinteraksi dengan
orang lain maupun ketika sendirian yang didasarkan kepada ajaran agama Islam,
khususnya menurut hadist Rasulullah SAW.
Etika guru adalah menguraikan tentang aturan tata susila,
sikap yang harus dimiliki oleh guru dalam prof'esinya Sebagai pendidik,
pengajar, pelatih, pembimbing dan penilai.
Etika atau ahklak adalah salah satu sarana membina
kehidupan, inilah yang ditegakkan Rasulullah dalam pembentukan masyarakat
Islam, kejayaan ummat lslam dan bangsa terletak pada ahklaknya, selama bangsa
itu masih memegang norma-norma ahklak dan kesusilaaan yang teguh, maka selama
itu bangsa menjadi jaya dan bahagia.[50]
Untuk mendapatkan kejayaan dan kebahagiaan guru, perlu
memiliki etika yang bersumber dari hadis-hadis Rasasululah SAW karena kedudukan
hadis menempati posisi kedua setelah al’quran dijelaskan.
Ruang lingkup kajian etika guru sangat luas, guru tidak hanya
memperhatikan mengajar di kelasnya saja, tapi juga di luar kelas, karena guru
merupakan sumber keteladanan baik bagi anak didiknya dan orang lain, maka etika
guru mencakup:
1.
Etika guru terhadap diri sendiri
2.
Etika guru terhadap profesi
3.
Etika guru terhadap anak didik
4.
Etika guru terhadap atasan
5.
Etika guru terhadap teman sejawat / sesama
guru
6.
Etika guru terhadap pegawai
7.
Etika guru terhadap orang tua / masyarakat
2.
Pengertian Guru
Dalam Islam guru merupakan profesi yang amat
mulia, dia bukan hanya sekedar tenaga pengajar tetapi sekaligus adalah
pendidik, oleh karena itu pada diri seorang guru bukan hanya terpenuhi
kualifikasi keilmuan dan akademis saja, tetapi juga harus terpenuhi akhlaknya
dari hal inilah diharapkan anak didik bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan,
tetapi juga menerapkan sifat yang terpuji pada tingkah lakunya.
Guru memiliki banyak tugas, baik yang terkait
oleh dinas maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Muh Uzer Usman
mengkelompokkan tugas guru kepada tiga jenis yakni tugas dalam profesi, tugas
kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.[51] Tugas
guru sebagai profesi meliputi, mendidik, mengajar dan melatih Mendidik berarti
meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknolog, sedangkan melatih berarti
mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Tugas guru dalam bidang
kemanusiaan, harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua harus mampu
menarik simpati, sehingga ia menjadi idola para siswanya , sedangkan tugas guru
dalam bidang kemasyarakatan adalah mendidik dan mengajar masyarakat untuk
menjadi warga negara Indonesia yang bermoral serta mencerdaskan bangsa
Indonesia.[52]
Guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peran penting
dalam menentukan gerak maju kehidupan
hangsa. Bahkan menurut Uzer Usman kerberadaan guru merupakan faktor "( condisio Sine Guenon
)" yang tidak mungkin diganti oleh komponen menapun dalam kehidupan bangsa
sejak dulu, terlebih diera tekhnologi yang kian canggih saat ini, Maka semakin
akurat guru melaksanakan tugasnya dan terpenuhi kualifikasi moralnya, maka semakin
terjamin kualitasnya.[53]
Pendidikan yang bermutu selalu menjadi harapan
baik oleh penyelenggara pendidikan, pemerintahan maupun masyarakat, khususnya
penyelanggara pendidikan harus mampu menghasilkan anak didik yang berkualitas.
Tugas guru di atas merupakan pekerjaan berat
dalam rangka menghasilkan anak didik yang berkualitas, tentu membutuhkan
berbagai keahlian dan kebijaksanaan serta pemilikan etika dalam melaksanakan
tugasnya.
Dalam rangka meningkatkan mutu guru telah
banyak usaha yang telah dilakukakn pemerintah, diantaranya melalui jenjang
pendidikan. penataran-penataran, latihan-latihan seminar dan loka karya
pembinaan kerja keprofesionalan secara khusus dan membuat program sertifikasi
guru. Dari usaha-usaha pemerintah tersebut nampaknya masih ada keluhan
masyarakaf tentang rendahnya mutu pendidikan, karena penyelenggaraan pengajaran
yang belum efektif.
Dengan melihat sepintas, bahwa rendahnya mutu
pendidikan tersebut, karena mementingkan pemilikan kualifikasi keilmuan,
sedangkan kualifikasi etika terabaikan. Untuk itu sangat penting pemilikan
etika bagi seorang guru, karena dengan etika seorang guru akan menimbulkan
sikap simpatik murid kepadanya, materi yang diberikannya lebih mudah di serap
muridnya, guru akan berwibawa menjadi pribadi yang dapat di percayakan,
memudahkan keberhasilan tugas, etos kerja tinggi sehingga hidup guru terasa
indah, tetapi tanpa etika guru tidak dapat mencapai hal yang optimal.
Ketinggian etika yang dibentuk pada guru, akan
dapat menfungsikan hidupnya dan mampu melaksanakan kewajiban dan pekerjaannya
dengan baik. Sehingga menjadikan hidupnya bahagia, walaupun faktor hidup lain
seperti harta tidak ada padanya. Sebaliknya apabila seorang guru buruk etikanya
tertarik dengan perbuatan-perbuatan tercela. Terpacu mengejar materi, maka
harapan masyarakat akan gagal, tetapi dengan memiliki etika akan dapat
mengawasinya dari perbuatanperbuatan tercela tidak saling sengketa, tidak ada
kecurigaan dan kebencian dalam pergaulan.
Disisi lain, peranan etika bagi kehidupan
guru, melebihi peranan ilmu, dengan ilmu guru daprat mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk, tetapi dalam batas-batas tertentu, kekacauaan dan
kejahatan tidak bisa dicegah dengan ilmu saja, kakacauaan dan kejahatan yang
timbul bukan karena kekurangan ilmu, melainkan kurangnya etika. Guru-guru
khususnya saat ini, pada umumnya memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi,
mengemban berbagai macam titel seperti S-1, S-2 dan S-3, tetapi jika di teliti
etikanya, sikap dan tingkah lakunya, sehari-hari sebagian sungguh rendah, tidak
sebanding dengan ilmu yang dimilikinya, oleh karena itu kedudukan etika dalam
kehidupan guru melebihi kedudukan ilmu, seperti kata pujangga Arab ‛Al Adabu,
Fauqol ilmi adab itu lebih tinggi dari ilmu.
Menurut Hery Noer Ary Guru adalah orang yang
menerima amanat orang tua untuk mendidik anak, menurut UUD No 14 tahun 2005
tentang guru dan Dosen, guru adalah Pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Kemudian guru sebagai tenaga profesional
‚menggunakan teknik dan Prosedur yang berpijak pada landasan Intelektual yang
harus dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian dipergunakan demi
kemaslahatan orang lain.[54]
Seorang pekerja profesional juga ditandai
adanya in formed Responsiperess terhadap implikasi kemasyarakatan dari objek
kerjanya, berarti seorang pekerja profesional atau guru harus memiliki persepsi
Filosofis dan ketanggapan yang bijaksana yang lebih mantap dalam menyikapi dan
melaksanakan pekerjaannya.[55]
Seorang guru sebagai tenaga profesional
kependidikan dapat juga ditandai dengan serentetan diagnosis, rediagnosis dan
penyesuaian yang terus menerus. Dalam hal ini disamping kecermatan untuk
menentukan langkah, guru juga harus sabar, ulet dan teladan serta tanggap
terhadap setiap kondisi sehingga di akhir pekerjaannya akan membuahkan hasil
yang memuaskan.[56]
3.
Pengertian Murid
Murid merupakan orang yang pengaruh dari seseorang atau
sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Murid sebagai manusia
perlu dibina dan dibimbing dengan perantara guru, ia memiliki potensi akal
untuk dijadikan kekuatan agar menjadi manusia susila yang cakap.[57]
BAB 5
PENUTUP
1. Kesimpulan
Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan, dan keberadaannya
sangat dibutuhkan. Dengan gurulah anak-anak akan tumbuh berkembang dan terdidik
sehingga menjadi orang pintar dan berkepribadian baik. Karena itu guru harus
mampu menjaga kepercayaan yang di berikan kepadanya.
Maka salah satu hal yang harus dimiliki oleh guru adalah etika, disamping persyaratan-persyaratan
lain, etika-etika yang harus dimiliki guru dalam hadis Rasulullah Saw adalah
ikhlas, takwa, berilmu, memiliki ketabahan dan menyadari tanggung jawab.
Peranan etika dalam tugas keguruan sangat besar fungsinya antara lain: akan
menimbulkan simpatik murid dan hormat, materi yang disampaikan guru mudah
diserap murid serta mudah membentuk keperibadian muridnya, dapat menyelamatkan
guru dari kemurkaan Allah Saw, guru memperoleh wibawa dan derajad dalam
kehidupannya, guru dapat dipercaya, dapat memudahkan keberhasilan. Tugas guru
menumbuhkan etos kerja yang tinggi bagi guru dan hidup guru terasa indah.
2. Implikasi Untuk PAI
Implikasi untuk PAI dari pembahasan ini adalah tugas guru
dalam hadis tidak hanya sebagai pengajar, yaitu guru bukan sekedar memberikan
ilmu atau pengalihan ilmu kepada peserta didiknya, akan tetapi guru sebagai
pendidik, yaitu guru berkewajiban menanamkan nilai-nilai kebajikan seperti
akhlak, etika, moral dan lain sebagainya. Sedangkan etika guru menurut hadis
yaitu guru sebagai teladan/idola, sumber inspirasi serta menanamkan sifat-sifat
mulia yang lain agar peserta didik menjadi insan kamil.
Implikasi untuk PAI tersebut dapat diperkuat dengan bukti-bukti
sebagai berikut :
1)
Tugas guru dalam hadis tarbawi antara lain
sebagai berikut:
a.
Guru hendaklah memiliki rasa kasih sayang
kepada peserta didik,
b.
Guru hendaklah berfungsi sebagai pengarah dan
penunjuk bagi peserta didiknya,
c.
Guru dalam mengajar hendaklah bermaksud mendekatkan
diri kepada Allah,
d.
Guru hendaknya mencegah peserta didik dari perbuatan
dekadensi moral,
e.
Guru dalam mengajar hendaklah memakai bahasa
yang sesuai dengan tingkat berfikir peserta didik,
f.
Guru mensucikan dan membersihkan peserta didik
dari sifat tercela dan menghiasi dengan sifat mulia,
g.
Guru mentransformasikan pengetahuan dan
mengamalkan ilmunya,
h.
Guru hendaklah meluruskan niat peserta didik
dengan ikhlas dalam menuntut ilmu.
2)
Etika guru menurut hadis Tarbawi adalah:
a.
Guru dalam menyampaikan ilmu hendaklah
mengaharap ridha Allah SWT, menyebarkan ilmu dan menhidupkan syari’ah,
b.
Guru tidak merendahkan peserta didiknya disebabkan
karena bebal otaknya,
c.
Guru menanamkan akhlak mulia terhadap peserta
didiknya,
d.
Guru sebagai sumber tauladan bagi peserta
didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Akhlak Tasawuf,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cet, ke-5,
hal. 15.
Ondi Saondi dan Aris Suherman, Etika
Profesi Keguruan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal. 90.
Faizal Djabidi, Manajemen
Pengelolaan Kelas, (Malang: Madani, 2016), hal. 35.
El-Qurtuby, Usman, Andi Subarkah, 2012,
Al-Qur’an & Terjemah Tajwid, Bandung: Cordoba.
Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cet ke-3, hal. 12.
Ahmad Yusam Thobroni, Jurnal Pendidikan Agama
Islam, hal. 305.
Ramayulis dan Samul Nizar. (2011). Filsafat
Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya.
Jakarta: PT. Kalam Mulia,
Abu Hamid al-Ghazali. (2002). Etika Islam Bimbingan
Awal Menuju Hidayah Ilahi. Bandung: PT. Pustaka Setia.
[1] Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010), Cet, ke-5,
hal. 15.
[2] Ondi Saondi dan Aris Suherman, Etika
Profesi Keguruan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal. 90.
[3] Faizal Djabidi, Manajemen Pengelolaan
Kelas, (Malang: Madani, 2016),
hal. 35.
[4] El-Qurtuby, Usman, Andi
Subarkah, 2012, Al-Qur’an & Terjemah Tajwid, Bandung: Cordoba.
[9]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),
hal.
17.
[14] Vanos, Journal
Of Mechanical Engineering Education, Vol.1, No.2, Desember 2016.
[16]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),
hal.
17.
[20]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat,
(Jakarta: Kencana, 2014), hal. 106.
[21] Ibid.,
hal. 107.
[23] Ibid, hal. 8.
[24] H. Samsul
Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan/Hadis Tarbawi, Membangun Kerangka
pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hal.
124.
[25]
Abdullah Ulwan,
Opcit, hal. 144.
[27]
Hasbullah, Dasar-Dasar
Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), Cet ke 10, hal.
116.
[28] VANOS, Journal
Of Mechanical Engineering Education, Vol.1, No.2, Desember 2016, hal. 158.
[29] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam
Dalam Perspektif Filsafat, Op.Cit., hal. 111.
[30] Ibid,
hal. 109.
[31] Ibid,
hal. 112.
[32] Ibid,
hal. 113.
[33] H. Mohammad
Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),
hal. 383.
[34] VANOS, Journal
Of Mechanical Engineering Education, Vol.1, No.2, Desember 2016, hal. 159.
[36] Ibid,
hal. 133.
[38] Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat, Op. Cipt., hal. 115.
[39] Ibid.,
hal. 120.
[40] Mustofa, Akhlak
Tasawuf, Op.Cit., hal. 82.
[42]
El-Qurtuby, Usman,
Andi Subarkah, 2012, Al-Qur’an & Terjemah Tajwid, Bandung: Cordoba.
[43] Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat, Op. Cit., hal.
136-140.
[47] M.
Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum (Jakarta: Balai Pustaka,
1980), hlm. 200.
[48]
TIM Didaktik
Metodik Kurikulum/KIP, Surabaya Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum,
(Jakarta: Grafindo), hal. 159.
[49] Rosadi Ruslan,
Etika Kehumasan, (Jakarta: Rineka, 2003), hlm. 5.
[52] Ibid,
hal. 7.
[53] Ibid,
hal. 8.
[54] Sardiman AM, Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar, Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 133.
[55] Ibid,
hal. 9.
Comments
Post a Comment